Om bhur bhuvah svah,tat savitur varenyam,bhargo devasya dhimahi,dhiyo yo nah pracodayat.

Tentang Kami

san francisco
lahir 16 oktober 1983 di desa titab, kecamatan busungbiu-buleleng.
aneh memang.. nama saya san francisco., ahhh apalah artinya sebuah nama!
Blog ini dikelola dengan swakelola dimana nantinya diharapkan adanya partisipasi dari rekan-rekan atau semeton yang berasal dari Desa Titab dimanapun berada atau dari semeton PSSA Kubon Tubuh Kuthawaringin dari mana pun berasal yang ingin sumbang saran atau memberikan komentar atas blog ini. Tujuan utama dari blog ini adalah melestarikan sejarah leluhur dan sejarah Desa Titab dengan mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan mengenai budaya, sejarah dan adat Desa Titab serta menyiarkannya secara luas agar dapat diketahui bagi siapa saja yang berminat. Yang terutama adalah untuk lingkungan warga Desa Titab sendiri, sebuah persembahan secra tulus dari saya, dari kami sebagai salah satu Prati Sentana Sira Arya Kubon Tubuh Kuthawaringin.

mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya....mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya....mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya....mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya....mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya....mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya....mohon komentarnya ya.... mohon komentarnya ya....
Atheisme dan Hinduisme
18.42 | Author: san francisco

Atheis, menurut asal kata Yunani-nya: a [tidak] dan theos [Tuhan].

Atheisme adalah keadaan dimana seseorang tidak mempercayai adanya Tuhan. Atheisme bukanlah percaya bahwa Tuhan tidak ada melainkan tidak percaya bahwa Tuhan ada. Dengan kata lain, atheisme bukan merupakan kepercayan atau keyakinan melainkan sistem ketidakpercayaan/ketidakyakinan.
Atheisme berbeda dengan komunisme. Seorang komunis umumnya atheis, tetapi atheis tidak berarti komunis. Komunisme adalah sebuah sistem pemikiran yang dapat dikembangkan menjadi ideologi dan bahkan sistem pemerintahan, sementara atheisme ketidakpercayaan.
Berbeda pula dengan Agnotisme pemeluk Budhistik yang tidak mengetahui apakah Tuhan ada atau tidak.

Berpikir bahwa Tuhan tidak ada, tidak berarti bahwa manusia bebas melakukan apapun. Atheisme hanyalah suatu keadaan sebatas “tidak percaya bahwa Tuhan ada”, tidak lebih dari itu. Tidak ada jaminan bahwa seorang atheis akan berbuat semaunya, seperti juga tidak ada jaminan seorang beragama dan percaya Tuhan akan berbuat baik.
Umumnya seorang atheis meyakini moralitas humanisme atau lainnya. Kita mengetahui ada seorang Voltaire yang memperjuangkan kebebasan rakyat Prancis dari pemerintahan dan otoritas agama yang absolute, sama seperti kita tahu Stalin membunuh 30 juta jiwa rakyatnya sendiri. Dengan logika yang sama kita bisa gunakan bagi para penganut agama.
Maraknya rumah-rumah ibadah atau megahnya upacara tidak menjamin berkurangnya kekerasan di masyarakat.

Dalam sistem filsafat Hindu

yang heterodox (tidak mengakui otoritas Weda), dikenal Filsafat Carwaka. Literatur barat yang beredar di internet kebanyakan mengatakan filsafat Carwaka sebagai atheisme ala Hindu, meski menurut saya istilah tersebut kurang tepat.

Filsafat Carwaka yang merupakan reaksi atas otoritas Weda mengatakan tidak ada surga, tidak ada neraka, tidak ada Tuhan. Tidak ada reinkarnasi. Kita hanya memiliki satu kelahiran, yaitu saat ini.
Dengan hanya menerima logika sebagai sumber pengetahuan, carwaka menolak kehadiran Tuhan. Tuhan dan Weda adalah imajinasi para pendeta, untuk menghaturkan sesaji, dan membuat orang-orang patuh dengan adanya hukuman bagi mereka yang tidak percaya. Filsafat Carwaka menolak otoritas Weda, kemudian mengungkap ketidak konsistenan ketika disatu kesempatan ajaran Weda mengajak umat menghindari kekerasan, tapi disisi lain mengorbankan binatang untuk mencapai kemulian.

Lorens Bagus, dalam kamus filsafatnya menjelaskan atheisme ada beberapa jenis,al: atheisme naïf, atheisme praktis dan teoritis –negatif/positif, atheisme materialistis dan positivistis. Dalam hal ini, carwaka mencakup skeptism, agnostic, materialisme sekaligus positivism, ia menerima kenyataan apapun yang dapat diterima oleh indera dan menolak sebaliknya.

Kita ketahui, sejarah agama-agama dan pencarian Tuhan umat manusia, menyebabkan agama/keyakinan yang datang kemudian di-cap atheis karena tidak sesuai dengan agama/keyakinan yang datang lebih awal. Contoh, Islam dianggap atheis karena menghancurkan pemujaan pada dewa-dewa [Illah] selain Allah. Orang-orang Yunani menganggap Kristen atheis karena tidak percaya dengan dewa-dewi mereka.

Hal yang mengagumkan dalam Hinduisme, -berbeda dengan berbagai tradisi agama lain-filsafat-filsafat yang berkembang pasca Hindu, seperti Filsafat Carwaka -karena meyakini materialisme lebih dari spiritualisme- , Budhistik, dsbnya hanya dianggap heterodox tanpa ada upaya lebih untuk menganggapnya sebagai bidah ataupun atheis. Sebuah bentuk keagamaan yang dewasa. Hinduisme mengakui adanya perbedaan, merayakan pluralisme sebagaimana bunga-bunga indah di taman.

Dan yang lebih mengagumkan tradisi menghormati, kedewasaan beragama ini bertahan ribuan tahun sampai sekarang. Mungkin karena jejak-jejak sejarah agama Hindu telah mengajarkan beraneka konsep ke-Tuhan-an, bentuk-bentuk pemujaan, nilai-nilai abadi yang melampaui sekedar persamaan dan perbedaan untuk diperjuangkan.
Salah satunya konsep Karmaphala, yang mengagungkan moralitas tinggi melalui proses kerja. Ia yang percaya bahwa tindakan baik – entah apapun agama/keyakinannya - akan berbuah kebaikan pula. Agama Hindu lebih menghargai nilai kebajikan daripada meributkan istilah-istilah. Bagi para pemeluknya, Hinduisme melampaui atheisme, agnotisme, komunisme, dan isme-isme lainnya.


Selengkapnya ....
Perilaku di Jaman Kali Yuga
18.39 | Author: san francisco

Dalam ajaran hindu zaman kaliyuga merupan zaman yang ditandai dengan peristiwa dimana para DEWA meninggalkan bumi dan digantikan oleh KALA sehingga keadaan mulai tidak terkendali,perilaku manusia sering kearah yang tidak manusiawi karena ajaran agama sering dikesampingkan dan rasa marah,irihati dan tamak hampir dan bahkan mencapai puncaknya,sehingga tidak ada keharmonisan,berbagai bencana tidak dapat di elahkan,yang semuanya disebabkan oleh sikap angkuh dan pada akhirnya melukai diri dan orang lain.

mungkin dalam penerapan disetiap zaman selalu saja ada ketikseimbangan akan tetapi dijaman kali ini sifat2 manusia sering menonjolkan sifat KALA ketimbang sifat DEWA, sehingga pendekatan diri kehadapan tuhan sering terlupakan bahkan ditiadakan,untuk itu dalam sebuah wacana seorang tokoh hindu mengajak setiap umat untuk menerapkan sikap-sikap untuk menjaga keharmonisan dijaman kali ini,

Bakti:

menerapkan rasa kasih sayang kehadapan tuhan(siwa) dengan mengucapkan aksara sucinya "Om Namah Siwaya"secara berulang-ulang kali, ini tidak hanya diucapkan disaat kita berada di tempat suci/pura melainkan ditempat lain disetiap saat,dengan mengucapkan aksara suci-NYA secara lagsung kita bisa mendekatkan diri secara lahir dan batin dan dengan hati yang bersih sifat DEWA akan timbul dan melahirkan keharmonisan diantara kita semua.

Tresna: merupakan penerapan sikap bersahabat kepada orang lain sehingga kita tidak akan merasa sendiri,dan pada dasarnya manusia itu tidak akan bisa hidup sendiri karena disetiap saat dan tempat kita masih sering membutuhkan bantuan orang lain.

Asih: merupakan sikap welas asih kepada setiap mahluk,halini dapat dilakukan dengan berperilaku yang baik karena pada dasarnya kita tidak ada bedanya dengan yang lain,dan dalam weda dinyatakan dengan satu kalimat sutra yaitu:Wasudewa Katumbhakam yaitu semua mahluk berasal dari satu sumber yaitu tuhan,dan semua mahluk adalah saudara.

Kerti: merupakan sikap dimana kita menjaga keimbangan alam beserta isinya,membangun tempat/fasilitas umum,membangun tempat suci,menjaga kelestarian hutan,mengolah tanah dan bercocok tanam,mengelola air dan irigasi yang pada akhirnya dapat berguna untuk kita semua.

dengan menumbuhkan sifat-sifat tersebut dan mungkin ini sedikit agak sulit dengan kemajemukan yang ada,akan tetapi keharmonisan dan keseimbangan alam beserta isinya akan tetap terjaga berawal dari sikap baik dan buruknya manusia itu sendiri.


Selengkapnya ....
Yoga Sadhana
18.33 | Author: san francisco

Meditasi sendiri merupakan bagian dari Yoga, mengembangkan mental dan meningkatkan derajat kesadaran. Konon, meditasi Yoga yang berasal dari India, mulai tumbuh lebih dari 7000 tahun yang lalu. Dari sana menyebar ke seluruh Asia, bahkan ke seluruh Dunia. Berbagai ragam teknik meditasi yang ada di dunia sekarang ini, mendasarkan diri pada Yoga.

Dengan bermeditasi, pikiran orang jadi terpusat, kemampuan ingatan sehingga kecerdasan meningkat. Meditasi menuntun pikiran, pengertian dan menumbuhkan toleransi. Meditasi membuang keruwetan mental, seperti: rasa takut, rasa malu, rasa rendah-diri dan lain sebagainya. Meditasi meningkatkan daya pengendalian diri, sehingga tataran mental jadi kuat, tajam dan seimbang; kepribadian-pun jadi utuh.


Yoga memanusiakan Manusia.

Moralitas (sila) merupakan landasan perkembangan spiritualitas seseorang. Moralitas praktis dari Yoga bukanlah sekedar aturan "ini boleh" dan "itu tidak boleh". Mereka merupakan upaya-upaya nyata yang berfungsi mengarahkan menuju kemurnian dan kesempurnaan batin.

'Yang kuat melindungi yang lemah', merupakan contoh sikap adil. Moralitas spiritual mendukung pengembangan kekuatan dalam, yang didasari oleh rasa kasih yang mendalam, dan bagi kebaikan seluruh makhluk hidup —tidak hanya bagi manusia bumi saja. Dengan memupuk sifat-sifat mulia seperti: integritas, kejujuran, kerendahan-hati, keberanian, tidak mementingkan diri sendiri, dan kesediaan untuk mengabdikan diri demi kebaikan kebahagiaan umat manusia, merupakan beberapa contoh moralitas- spiritualitas praktis yang dianjurkan oleh yoga.

Dapat dikatakan bahwa, Yoga telah memanusiakan manusia sejak ribuan tahun lamanya. Kita seringkali buru-buru merasa sebagai manusia; padahal kita sangat boleh jadi kalau kita sebetulnya baru "jelma" —bahasa Bali, yang juga berarti makhluk jadi-jadian atau siluman— atau raksasa, bahkan terkadang khewan. Sifat-sifat dan kecenderungan-kecenderungan kita masih sering ke-raksasa-an, ke-khewan-an, tidak manusiawi.

Guna menjadi 'manusia yang benar-benar manusia' atau "manusia sejati", bahkan dewa sekalipun, Yoga-lah jalannya. Walaupun sesungguhnya Yoga bukan diturunkan-Nya untuk itu.


Selengkapnya ....
Teroris Hindu?? Mengapa Tidak!!
18.10 | Author: san francisco

Beberapa tahun belakangan kata teroris seakan membumi di Indonesia. Dari lapisan masyarakat kelas lorong becek hingga kelas ekonomi tinggi mengerti apa makna dibalik kata teroris. Bahkan di kalangan masyarakat minoritas namun mayoritas di suatu wilayah dan masyarakat yang disekelilingnya banyak gedung pencakar langit seakan terbiasa mendengar kata teroris, karena mereka acap kali berdebar saat teroris menjadikan mereka sebagai target sucinya. Bagi sebagian orang kondisi tersebut tidaklah nyaman karena harus bertaruh nyawa meskipun tidak terkait dengan kelompok-kelompok pejuang yang tidak jarang disebut pejuang suci.



Bahkan di beberapa bulan belakangan kata teroris semakin terkenal dan orang yang disebut teroris pun jadi lebih terkenal dibandingkan bintang sinetron. Dukungan dan soray baginya semakin meluar, banyak kalangan ambil bagian dari upaya pembebasan, penyiapan lahan kuburan hingga penyambutan bak pahlawan yang sudah mengabdikan nyawanya dimedan perang. Di forum-forum para pejuang suci tersebut pun mendapat sambutan yang tidak sedikit, bahkan menggambarkan sebuah pencapaian yang begitu tinggi meskipun tidak sedikit nyawa manusia yang jadi korban. Bagi para pendukung, nyawa dan derita para korban bukanlah masalah.



Bergeloranya darah panas para pelaku di setiap denyut nadi pendukungnya tidak terlepas dari bantuan media yang selalu berhias dengan berita dan gambar para pelaku. Nyaris tiada jeda tampa menampilkan hal-hal yang bertalian dengan para teroris, dan masyarakatpun tiada hentinya menantikan berita mereka. Sungguh pencapaian kedigdayaan yang luar biasa.



Lalu bagaimana dengan Hindu, mengapa tidak terdengar orang yang melakukan aksi dan kedigdayaan yang begitu dasyat demi Hindu? Bali yang identik dengan Hindu pun tetap tenang dan ramah. Hingga untuk kedua kalinya sebuah perinstiwa menguncang Bali, Bali pun tetap tak beriak, ramah pada semua karena Bali memang untuk semua. Jika ada yang sedikit nakal berkomentar dengan adanya peristiwa yang menewaskan manusia di Bali, mungkin Bali bukan hanya tenang dan ramah, tetapi juga bodoh karena jatuh kelubang yang sama untuk kedua kali.



Kembali ke kata teroris, mungkin pemuda Hindu di Indonesia sangat berpotensi untuk menjadi teroris bahkan lebih hebat dari yang sudah ada. Mengapa hal ini tidak terjadi di Indonesia, apakah para pemuda Hindu tidak punya keberanian melakukannya? Dibanyak pustaka Hindu tertuang bahwa menjadi teroris adalah keharusan, namun bukan dengan memandang manusia yang bukan Hindu sebagai manusia yang mestinya di Hindu-kan atau nyawanya hanya seharga bangkai cicak. Hindu memandang manusia sebagai mahluk yang mulia, meskipun ia bukanlah seorang Hindu. Jadi jangan pernah berharap jadi pahlawan Hindu jika dengan mengorbankan nyawa manusia, karena sesungguhkanya hal itu adalah penistaan terhadap Hindu.



Lalu teroris seperti ada yang diisyaratkan Hindu? Meskipun kata teroris tidak tetulis persis demikian di pustaka Hindu, namun Hindu memberi makna teroris sebagai kemampuan seseorang untuk memberi manfaat dan kebahagiaan pada orang lain yang membutuhkan dengan mengorbankan diri sendiri, bukan mengorbankan orang lain untuk kejayaan diri sendiri. Bisa jadi kata teroris di Hindu merupakkan istilah lain dari yadya. Namun Hindu memberikan batasan yang jelas terhadap yadya meskipun tidak jarang di kaburkan untuk tujuan tertentu.



Lahan para teroris Hindu pun masih sangat luas, dimana pemerataan sumber daya manusia, masalah kemiskinan dan kebodongan serta keterbelakangan merupakan lahan yang sangat mendesak untuk digarap para teroris Hindu. Banyak muda-mudi Hindu yang meninggalkan Hindu karena tidak bisa menjelaskan dengan baik apa itu Hindu, banyak generasi Hindu yang melihat Hindu dari sisi negatif saja dan bernafas lega saat tidak lagi Hindu, tidak sedikit orang tua yang justru ditelanjangi kebodohannya dalam mendidikan dan memberi tauladan Hindu oleh anak kesayangannya, tidak sedikit anak-anak Hindu yang mengubur dalam impiannya untuk membangun Hindu karena keterbatasan ekonomi, berapa banyak korban bom Bali yang hidup diantara hidup dan mati bahkan kehilangan harapan ada yang peduli.



Umat butuh teroris Hindu, bergabunglah!. Dan mari selamatkan jiwa Hindu dalam diri, mari selamatkan keluarga dari tumbal kejayaan kelompok kejam, mari selamatkan generasi Hindu dari para maniak agama yang selalu mencari celah untuk menguasai. Hindu adalah anugrah untuk hidup yang lebih baik, berfikirpun hindari untuk menjadikan Hindu sebagai alasan untuk menebarankan hawa kematian bagi manusia, siapapun dia dan apapun agamanya.



Selengkapnya ....
Metuakan, tradisi??
17.39 | Author: san francisco

Oleh Wayan Sunarta

Pada sebuah sore yang indah, di sebuah warung tuak di Karangasem, sekelompok orang tua duduk melingkar beralaskan tikar. Di tengah-tengah lingkaran terhidang lima botol tuak, sate babi, lawar dan camilan lainnya. Sambil meneguk tuak, mereka tampak asyik bercengkerama tentang padi-padi yang mulai panen, tentang kesibukan para caleg mengobral janji-janji membela rakyat jelata, tentang situasi desa, dan sebagainya.

Para orang tua itu hampir setiap sore datang ke warung tuak langganannya. Mereka bukan hanya melampiaskan keinginan minum tuak, namun juga kebutuhan bertemu teman-teman sebaya dan ngobrol berbagai hal yang menarik dibicarakan. Secara tidak tertulis mereka telah membuat semacam sekehe metuakan, kelompok minum tuak.

Seringkali acara metuakan telah menjadi semacam forum tidak resmi yang menampung berbagai aspirasi yang tidak tersalurkan pada lembaga-lembaga resmi. Berbagai macam unek-unek, keluh kesah, kritik, gosip, dan obrolan tentang berbagai pokok persoalan yang nyangkut di pikiran mereka menemui pelepasan dalam forum yang penuh aroma alkohol tersebut.

Tuak dibuat dari sadapan air bunga pohon jake (enau), nyuh (kelapa), dan ental (lontar/siwalan). Dari sana muncul berbagai jenis tuak seperti tuak jake, tuak nyuh dan tuak ental. Tuak jake banyak dibuat di Tenganan, Gumung dan Bebandem. Tuak Nyuh dibuat di daerah yang banyak pohon kelapanya, seperti Pikat, Pidpid, Gunaksa. Sedangkan tuak ental dikenal di daerah yang banyak ditumbuhi pohon ental, seperti Merita, Culik, Tianyar, Kubu.

Tuak jake lebih terasa enak, bersifat netral, proses dalam tubuh cepat dan sering kencing. Tuak Nyuh kadar alkoholnya lebih keras dari tuak jake, peminum umumnya cepat merasa pusing. Sedangkan tuak ental lebih berat kadar alkoholnya dibanding tuak nyuh, rasanya lebih gurih, cepat membuat mabuk. Secara umum orang-orang Karangasem lebih menggemari tuak jake.

Proses membuat tuak jake sangat lama, bisa memakan waktu sampai 21 hari. Dimulai dari ngayunan, bunga jake diayun-ayun sampai satu jam. Kemudian dilanjutkan dengan proses notok, batang bunga jake dipukul-pukul berulang-ulang setiap hari selama satu jam dan berlangsung sampai dua minggu. Setelah dirasa cukup umur, maka dilanjutkan dengan nimpagang, mengiris batang bunga dan mengecek ada air atau tidak pada bunga jake itu.

Kemudian dilanjutkan dengan nadah, batang bunga jake disadap dengan brengkong, wadah yang dibuat dari pelepah pohon pinang. Satu batang bunga jake bisa menghasilkan satu brengkong setiap kali menurunkan tuak yang dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pagi dan sore. Kalau lagi untung dalam sehari bisa mendapatkan dua jerigen (isi 8 botol) tuak. Dan satu pohon jake bisa menghasilkan tuak hingga tiga bulan. Pada prinsipnya proses mencari tuak nyuh dan ental hampir sama dengan tuak jake.

Tuak yang baru turun dari pohonnya akan terasa manis. Maka untuk membuat rasanya lebih gurih, tuak dicampur dengan ramuan khusus yang disebut lau. Secara umum lau berpengaruh pada rasa dan kadar alkohol tuak. Lau yang paling bagus diolah dari babakan (serbuk) kayu pohon kutat dicampur dengan serbuk kulit pohon cabe tabia bun. Kalau cara mengolah lau kurang pas, maka tuak akan terasa kecing atau masam.

Berbeda dengan arak, tuak tidak berumur panjang. Tuak paling enak diminum ketika baru diturunkan dari pohonnya. Orang Karangasem mengenal rasa tuak yang nasak badung, rasanya lebih tawar dan agak masam, namun masih bisa diminum. Ada tuak yang rasanya lebih netral, tidak terlalu tua dan tidak terlalu masam, dan masih enak untuk diminum. Tuak jenis ini disebut semedah. Tuak wayah adalah tuak yang telah tersimpan satu sampai dua hari. Kalau tuak telah tersimpan dua sampai tiga hari disebut tuak bayu. Dan tuak yang tersimpan lebih dari tiga hari akan menjadi cuka.

Di Karangasem, alat untuk menampung atau minum tuak bermacam-macam jenisnya. Untuk menampung tuak dari pohonnya dipakai brengkong dan kele (bumbung bambu ukuran besar dan panjang). Sebelum morong populer, dahulu orang menyimpan tuak menggunakan cekel, bumbung bambu agak besar lengkap dengan tutupnya dan di ujung atasnya terdapat saluran yang dibuat dari buluh bambu kecil. Agak mirip dengan cekel disebut ganjreng di mana saluran tuaknya terletak di dasar wadah.

Untuk tempat minum tuak dipakai bumbung (gelas bambu ukuran sedang, setara dengan gelas jus), dasar (cawan dari kau atau batok kelapa), dan beruk (cawan ukuran sedang dari kau atau batok kelapa). Nama wadah tuak ini sering berbeda-beda di tempat lainnya di Bali. Sekarang, untuk kepraktisan, wadah tuak tradisional itu diganti dengan jerigen, morong, botol dan gelas.

Sekehe-sekehe metuakan dengan mudah bisa ditemui di sudut-sudut jalan pedesaan di Karangasem. Mereka membuat kelompok berdasarkan pertemanan, biasanya berjumlah antara 3-5 orang. Anggota baru agak susah bergabung ke dalam kelompok karena harus mampu beradaptasi dan mempelajari karakter kelompok.

Pada saat metuakan, orang-orang tua berkelompok dengan sesama orang tua, anak-anak muda membuat kelompok dengan teman-teman sebayanya. Jarang ditemui kelompok campuran, antara anak muda dan orang tua. Karena kelompok campuran biasanya akan kesulitan pada saat ngobrol atau diskusi. Obrolan anak-anak muda terkadang tidak nyambung dengan obrolan orang-orang tua.

“Dalam membuat sekehe, kami mengajak kawan-kawan akrab yang kami sudah tahu tabiat dan tingkatan mabuknya. Kami sangat menghindari peminum yang suka bikin onar saat mabuk. Kami metuakan bukan untuk cari ribut, melainkan untuk kumpul-kumpul dengan teman-teman dan menghilangkan stress,” ujar Made Kaler, seorang peminum dari Jungsri, Bebandem.

Namun seringkali sekehe metuakan juga disusupi kader-kader partai politik pada saat musim-musim kampanye. Tujuannya jelas untuk mencari massa. Kader-kader partai politik ini biasanya mentraktir anggota sekehe minum tuak sepuas-puasnya. Di pertengahan acara minum, kader partai mengarahkan obrolan kepada soal-soal partai, janji-janji partai, dan buntutnya sekehe diharapkan memilih dirinya. Untuk masuk dan bisa diterima dalam sekehe metuakan, tentu kader-kader partai harus mampu beradaptasi dan memilih sasaran secara tepat. Karena tidak semua sekehe metuakan mau mendengar ocehan para kader partai atau caleg yang sekarang berlomba-lomba mencari massa.

Tradisi metuakan di Karangasem sudah terkenal sejak dahulu. Karangasem merupakan penghasil tuak terbesar di Bali. Hampir di setiap desa bisa dijumpai warga yang berprofesi sebagai pembuat tuak dan pedagang tuak. Bahkan tuak itu dikirim dan dijual hingga ke daerah-daerah lain, termasuk Denpasar.

Karangasem juga dikenal dengan kesenian Genjek dan Cakepung di mana peranan tuak sangat penting dalam kesenian tersebut. Para pemain Genjek dan Cakepung bergiliran minum tuak sambil menyanyi dengan musik mulut dan menari-nari di tengah lingkaran. Kesenian ini sangat semarak dan penuh dengan nuansa pesta pora.

Sekehe metuakan biasanya memiliki aturan-aturan tertentu yang disepakati bersama diantara anggota sekehe. Aturan-aturan tak tertulis ini terkadang berbeda-beda antara sekehe satu dengan lainnnya, atau antara daerah satu dengan lainnya. Ada aturan yang mewajibkan masing-masing anggota sekehe membawa tuak dari rumah sesuai kemampuan dan keperluan minum. Kalau tempat berkumpulnya di warung tuak, anggota sekehe akan patungan membeli tuak. Terkadang ada anggota sekehe yang mentraktir kawan-kawannya minum tuak.

Di Karangasem, harga sebotol tuak sekitar Rp 1.500. Dalam acara metuakan, satu kelompok yang terdiri dari 5 orang bisa menghabiskan 10 botol tuak, bahkan terkadang lebih.

Acara metuakan diatur oleh seseorang yang biasa disebut bandar. Bandar bertugas menuangkan tuak ke dalam gelas dan membagikan secara bergiliran kepada anggota sekehe. Kadangkala kalau terjadi diskusi atau perdebatan, bandar juga bertugas menjadi moderator. Anggota sekehe minum secara bergiliran dengan menggunakan satu gelas.

Penggunaan gelas secara sendiri-sendiri tidak diperkenankan. Dan bahkan bisa memunculkan ketersinggungan dari anggota sekehe lainnya. Apalagi kalau ada anggota yang baru bergabung, lalu minum tuak menggunakan gelasnya sendiri, dianggap egois dan tidak tahu aturan minum. Anggota baru ini bisa membuat perasaan anggota sekehe lain tidak enak. Penggunaan satu gelas secara bersama-sama dianggap sebagai bentuk rasa solidaritas dan memupuk kebersamaan dan kekeluargaan di antara anggota sekehe.

“Aturan lain, cara meminum tuak harus sekali minum. Kalau ada orang minum tuak seperti minum kopi, pelan-pelan dan sedikit-sedikit, orang itu biasanya akan jadi bahan olok-olok,” kata Ketut Gingsir, pemuda yang suka nongkrong di warung tuak di Ababi, Karangasem.

Menurut Made Adnyana, seorang sesepuh desa Ababi yang hobi minum tuak, dalam metuakan ada delapan urutan minum yang dikaitkan dengan tingkat kemabukan. Secara umum hitungan minumnya adalah bumbung atau gelas.

Pertama, Eka Padmasari, peminum baru mulai minum tuak. Satu bumbung untuk tegukan pertama. Aliran tuak terasa nyaman dalam tubuh, apalagi diselingi obrolan-obrolan ringan dan bersenda gurau. Acara minum tuak masih diliputi semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Kedua, Dwi Angemertani, peminum mengangkat bumbungnya yang kedua. Pada tahap ini tuak merupakan amerta, air kehidupan. Biasanya setiap sore orang-orang tua akan menyuruh anak atau cucunya membeli tuak satu botol untuk diminum sehabis makan nasi. Minum satu atau dua gelas tuak menjadi penyempurna perut yang kenyang. Pada tingkatan ini tuak tidak membuat mabuk.

Ketiga, Tri Raja Busana, peminum sudah menenggak 3 bumbung tuak. Pada tahapan ini tanda-tanda awal mabuk sudah kelihatan. Wajah menjadi bersemu merah. Peminum mulai berlagak dan bertingkah seperti raja, main perintah sana-sini. Bahkan gaya duduknya sudah kayak sikap raja.

Keempat, Catur Kokila Basa, ini tahapan ketika peminum sudah meneguk 4 bumbung tuak. Tingkah lakunya sudah seperti burung kutilang, banyak berkicau. Jika mau mengorek rahasia seseorang bisa dimulai pada tahapan ini. Semua rahasia yang sebelumnya tersimpan rapat akan dibeberkan dengan tanpa beban oleh si peminum yang agak mabuk. Omongan ngelantur ke sana-sini. Acara minum menjadi ramai. Kadang kala omongan si peminum kebablasan sehingga membuat teman jadi tersinggung.

Kelima, Panca Wanara Konyer, tahap dimana peminum sudah menghabiskan 5 bumbung tuak. Kepala sudah mulai pusing. Namun nafsu minum masih bergejolak. Ingin nambah terus. Pada tahap ini perilaku peminum seperti monyet yang lincah, nakal dan usil. Perilaku aneh-aneh juga muncul, seperti menari-nari sendiri, ngoceh tidak jelas, atau kebut-kebutan menyerempet bahaya di jalan. Kalau acara metuakan diikuti lebih dari lima orang, maka tembang-tembang genjek makin berkumandang menambah semarak suasana minum. Pada tahap ini, kadangkala terjadi pertengkaran kecil di antara peminum karena persoalan-persoalan sepele. Alkohol telah mengacaukan syaraf. Kata-kata yang terlontar menjadi tidak terkendali.

Keenam, Sad Wanara Rukam, peminum sudah memasuki tahap bumbung keenam. Perilakunya seperti monyet kena sampar atau penyakit, lebih banyak duduk diam dan mengkerut. Selera usil dan iseng perlahan mereda. Alkohol sudah memenuhi aliran syaraf. Kepala semakin pusing. Peminum terlihat lebih banyak melamun dan tidak banyak bicara.

Ketujuh, Sapta Ketoya Baya, bumbung ketujuh telah diteguk. Inilah tahap yang rawan baya (bahaya). Saat dimana kadar alkohol dalam tubuh dengan mudah bisa mendatangkan malapetaka. Keributan dan perkelahian dengan mudah meledak di antara peminum. Perilaku mabuk yang aneh-aneh pun bermunculan. Yang paling parah adalah mengamuk gelap mata. Endapan-endapan emosi meledak, menemui pelepasan.

Kedelapan, Asta Kebo Dangkal, peminum sudah memasuki bumbung kedelapan. Peminum sudah benar-benar melampaui ambang mabuk. Pikiran sehat jadi macet total. Pada tahap ini banyak peminum yang tergeletak di sembarang tempat, tidur mendengkur seperti kerbau (kebo).

“Paling sehat adalah minum satu sampai dua gelas tuak sehabis makan. Namun yang lebih sehat lagi tidak minum tuak. Cukup air putih saja,” ujar Made Adnyana sembari ketawa.

Memang, lebih sehat tidak minum tuak. Apalagi minum tuak dengan satu gelas beramai-ramai. Kuman atau virus penyakit menular dengan mudah berpindah tempat melalui bibir gelas. Namun, siapa yang peduli kuman atau virus kalau sedang “on” alias mabuk?


Selengkapnya ....
Selamat Natal Dan Tahun Baru
21.44 | Author: san francisco

Bagi yang merayakannya, perkenankan saya mengucapkan selamat hari Natal, 25 Desember 2008, semoga hikmah Natal menerangi hidup dan kehidupan saudar bersama keluarga.

Saya juga ingin mngucapkan selamat tahun baru, 1 Januari 2009, semoga di tahun yang baru ini kita semua, bangsa Indonesia memperoleh kesejahteraan, keselamatan, makmur, aman, dan terutama sukses menyelenggarakan pemilihan umum dan berhasil mendapatkan pemimpin yang sejati, yang peduli kepada rakyat dan mampu membawa keluar bangsa ini dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Selengkapnya ....
Hari Raya Saraswati
21.35 | Author: san francisco

Hari raya Saraswati merupakan hari raya dalam agama Hindu. Hari raya ini diperingati sebagai hari “Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati” (ilmu pengetahuan). Hari raya ini diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali (1 bulan=35 hari), yaitu pada Saniscara (Sabtu) Umanis(Legi), Wuku Watugunung yang merupakan Wuku terakhir.
Menurut legenda Saraswati adalah Dewi (istri) Dewa Brahma Brahma. Dewi Saraswati adalah Dewi Ilmu Pengetahuan yang merupakan pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah Dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan. Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik bertangan empat, biasanya tangan-tangan tersebut memegang Genitri (tasbih) dan Kropak (lontar). Yang lain memegang Wina (alat musik / rebab) dan sekuntum bunga teratai. Di dekatnya biasanya terdapat burung merak dan undan (swan), yaitu burung besar serupa angsa (goose), tetapi dapat terbang tinggi.
Pada hari raya Saraswati, semua pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai. Upacara ini biasanya dilakukan pada pagi hari dan tidak boleh melewati tengah hari. Selain itu dilakukan juga persembahyangan pada hari raya Saraswati untuk memuja Dewi Saraswati sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Di Bali, persembahyangan Saraswati biasanya didominasi oleh para penuntut ilmu yaitu siswa, mahasiswa dan instansi pendidikan serta instansi pemerintahan. Khusus untuk daerah Denpasar, Pura yang biasanya paling ramai adalah dijadikan tempat bersembahyang adalah Pura Jagatnata yang terletak di pusat kota Denpasar. Di pagi hari para generasi muda terutama siswa akan berbondong-bondong menuju sekolah masing-masing untuk bersembahyang bersama kemudian dilanjutkan Pura Jagatnata. Dari pagi hari sampai malam harinya tetap saja masih ada yang datang ke Pura Jagatnata, bahkan di malam harinya biasanya sampai terjadi antrian dan berdesak-desakan untuk masuk ke Pura.
Perayaan Saraswati

juga dilakukan dengan “Mesambang Semadhi” yaitu semadhi ditempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan menemukan pencerahan Ida Hyang Saraswati. Banyak kelompok Dharma Gita atau Pesantian yang biasanya melakukan semadhi, membaca pustaka-pustaka, atau melakukan Dharma Gita atau “kekawin” di tempat-tempat suci, pura atau merajan.
Untuk generasi muda, banyak yang begadang di pantai, bersama teman-temannya. Mereka begadang sampai pagi. Namun muncul kesan negatif dari hal ini yaitu generasi muda terutama para siswa yang masih duduk di bangku sekolah menggunakan kesempatan ini untuk berpacaran.
Keesokan harinya, dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni asuci laksana dipagi buta berkeramas dengan air kumkuman. Setelah melakukan upacara dan semadhi di malam hari, masyarakat akan beramai-ramai menuju pantai dan melakukan Banyu Pinaruh serta mandi di pantai. Pantai yang paling ramai dikunjungi biasanya pantai Sanur.

Selengkapnya ....
Buleleng
21.09 | Author: san francisco

Setelah kalahnya Baginda Raja Bedahulu di Bali, oleh beliau Sri Aji Kala Gemet, sebagai pelindung daerah, yang berkedudukan di Majalange, akhirnya keadaan Bali pada saat itu menjadi tenang, sehingga tidak senanglah Patih Nirada Mada, melihat peraturan tata tertib rusak, adalah beliau yang bernama Dang Hyang Kapakisan, seorang pandita yang sudah sempurna, beliau dipakai sebagai bagawanta oleh Nirada Mada, beliau berputra yang lahir dari batu, hasil dari pemujaan beliau kepada Hyang Surya (Asurya sewana) sehingga mendapatkan seorang bidadari di taman, dia itulah akhirnya dipakai istri oleh beliau, akhirnya berputralah beliau laki-laki tiga orang, salah satu adalah wanita, mereka itulah yang dicalonkan oleh Gajah Mada untuk memerintah, dimohon kepada sang pendeta, yang tertua dinobatkan di Brambangan, adiknya memerintah di Pasuruhan, dan yang bungsu menjadi penguasa di daerah Bangsul (Bali), bernama Sri Dalem Kresna Kepakisan, I Dewa Wawu Rawuh nama lain beliau, beliau beristana di desa Samprangan, ada lagi pengikut baginda yang bertahta sebagai raja Bali Aga yang bergelar Maharaja Kapakisan, di antaranya, beliau Sirarya Kanuruhan, Arya Wangbang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Tan Wikan, Arya Pangalasan, Arya Manguri, sira Wang Bang, terakhir Arya Kuta Waringin, dan ada lagi tiga orang wesya, bernama Tan Kober, Tan Kawur, Tan Mundur

Lama kelamaan wafatlah beliau Sri Dalem Kapakisan, beliau meninggalkan tiga orang putra laki-laki, satu orang perempuan, yang pertama bernama Dalem Samprangan, beliau suka bersolek, yang kedua bernama Dalem Tarukan, beliau kurang waras, mengawinkan saudara perempuannya dengan kuda, selanjutnya yang bungsu beliau bernama Dalem Ketut, beliau yang menggantikan kedudukan ayahnya, selanjutnya beralih istana ke Swecalinggarsapura.
Setelah beliau kembali ke alam baka, beliau digantikan oleh putranya, yang bernama Dalem Watu Renggong. Setelah beliau wafat, beliau juga diganti oleh putranya, yang bergelar Dalem Sagening, yang selanjutnya banyak menurunkan anak cucu, itulah sebabnya ada jenjang martabat kebangsawanan keluarga kesatria ( nista, madya, dan utama). Semuanya adalah para putra awalnya, oleh beliau Sri Aji Dalem Sagening

Diceritakan beliau Arya Kapakisan, sebagai mahapatih daerah Bali, putra beliau yang tertua bernama Nyuh Aya, adik beliau Arya Asak, beliaulah sebagai leluhur keluarga raja Mengwi.

Adapun Beliau Arya Nyuh Aya, beliau berputra tujuh orang, yang tertua beliau Ki Arya Patandakan, adik beliau Ki Arya Kasatrya, Ki Arya Pelangan, Arya Akah, beliau Arya Kaloping, Arya Cacaran, serta beliau Arya Anggan.
Kembali diceritakan putra beliau Ki Arya Cacaran, Ki Arya Pananggungan, berputra Ki Arya Pasimpangan, berputra Ki Gusti Ngurah Jarantik, beliau pemberani dalam pertempuran, beliau meninggal dalam pertempuran di Pasuruhan, beliau meninggal masih muda, adalah putra beliau, yang bernama Ki Gusti Ngurah Jarantik Bogol, sebab ayah beliau meninggal dalam keadaan tanpa senjata

Kembali diceritakan, adalah seorang wanita bernama Si Luh Pasek Panji, ia memang berasal dari desa Panji daerah wilayah Den Bukit, ia menjadi abdinya Sri Aji Dalem Sagening, ia sudah gadis dewasa, pada saat hari yang baik, kebetulan saja Si Luh Pasek sedang buang air kecil (kencing), air kencing Si Luh Pasek terpijak oleh beliau Dalem, terasa panas tanah bekas air kencingnya, terhenyak beliau Dalem, selanjutnya beliau menanyai abdinya, siapa yang mempunyai bekas air kencing itu, yang ditanya menjelaskan dengan sesungguhnya, bahwa Si Luh Pasek yang mempunyai bekas air kencing itu, saat itulah beliau Sri Aji Dalem Sagening memikir-mikirkan keutamaan Si Luh Pasek Panji, bagaikan tersentak timbul birahinya, oleh karena dimabuk asmara, akhirnya Si Luh Pasek digauli, akhirnya ia berhasil diperistri oleh Sri Aji Dalem Sagening, disertai dengan kelengkapan upacara seorang istri, entah berapa lama, akhirnya Si Luh Pasek kelihatan hamil.
Akhirnya ingatlah beliau Sri Aji Dalem Bali, oleh karena sudah tiba saatnya, beliau wafat ke alam baka, akan tetapi belum ada balas jasa beliau terhadap Arya Jarantik, sebagai orang kepercayaan beliau, oleh karena banyak pengabdian yang sudah dilakukan dengan taat dan hormat selama beliau mengabdi, dari leluhur beliau dahulu, dengan kesetiaan dan ketaatan yang kuat, menyebabkan tumbuh rasa kasih sayang beliau Sri Aji Dalem. Itulah sebabnya Si Luh Pasek Panji yang sudah hamil diberikan kepada Ki Gusti Ngurah Jarantik, akan tetapi ada pesan Dalem, kepada Ki Gusti Ngurah Jarantik, supaya tidak menggauli mencampuri sanggama, serta ada lagi janji Dalem, kemudian apabila lahir anak itu, supaya Ki Gusti Ngurah Jarantik bersedia mengangkat sebagai anak angkat, supaya bersaudara dengan anak beliau, yang bernama Ki Ngurah Jarantik, yang sudah dewasa, tidak menolak mereka yang diperintah.
Entah sudah berapa lama, setelah waktunya akan melahirkan, lahirlah anak beliau Si Luh Pasek Panji laki-laki sangat tampan tanpa cacat cela, juga dari ubun-ubun anak itu keluar sinar, sebagai tanda seorang calon pemimpin, sakti dan berani kemudian unggul dalam peperangan, hati beliau Ki Gusti Ngurah Jarantik sangat girang, setelah Dalem diberitahu, selanjutnya anak itu

diupacarai, sesuai dengan upacara Arya Ngurah Jarantik, selanjutnya anak itu diberi nama Ki Barak Panji. Adapun istri Ki Ngurah Jarantik, ternyata tidak setuju hatinya, sangat murung dan duka hatinya, melihat anak itu demikian, sehingga timbul iri hati beliau, oleh karena tidak lahir dari dirinya sendiri, diduga akan menyebabkan anak beliau tersisih nantinya, sebab anak beliau sendiri, tidak demikian perbawanya, kejengkelannya ditelan saja, terpendam di hati terus-menerus.
Setelah Ki Barak Panji dewasa, beliau menghadap raja, mengabdi kepada Sri Aji Dalem Sagening, selanjutnya dikumpulkannya dengan putra para Arya lainnya, yang sama-sama mengabdi.

Tiba-tiba malam hari, ketika orang-orang tertidur lelap dalam istana, kebetulan Sri Aji Dalem keluar dan ruangannya, disertai oleh sang permaisuri, kelihatan oleh beliau berdua, ada sinar suci menandakan prabawa, pada kepala salah seorang abdinya, yang sedang tidur, terkejutlah beliau berdua, selanjutnya diperiksalah keadaan abdi yang sedang tidur itu, setiba beliau di sana, tiba-tiba sinar itu menghilang, selanjutnya anak yang bercahaya suci itu ditandailah dengan kapur oleh beliau Sri Aji Dalem Sagening.
Keesokannya, ternyata Ki Barak Panji tersurat kapur, di sanalah Sri Aji Dalem Sagening percaya akan kata-katanya Ki Gusti Ngurah Jarantik, bahwa benar ubun-ubun anak itu keluar sinar, hati beliau menjadi murung, hati beliau Dalem sangat kasih sayang, akan tetapi ada yang ditakutkan dalam hati, mungkin Ki Barak Panji, nantinya akan mengalahkan putranya, yang diharapkan akan menggantikan menjadi raja.
Lama-kelamaan, kira-kira sesudah dua belas tahun umumnya Ki Barak Panji, khawatir dan curiga hati Dalem, beserta permaisuri baginda, demikian juga pikiran Ki Gusti Ngurah Jarantik, termasuk isterinya, sehingga berunding beliau Dalem, diiringi oleh Ki Gusti Ngurah Jarantik, mencari akal upaya, berusaha agar lepas dari mala petaka, setelah pembicaraan selesai, Ki Barak Panji disuruh pulang ke daerah ibunya di desa Panji, Den Bukit

Menjelang keberangkatannya ke desa Panji, beliau Sri Aji Dalem Sagening, sudah siap dengan pengiring putra baginda, empat puluh orang banyaknya, telah teruji keberaniannya, sebagai pimpinannya, bernama Dumpyung, beserta Ki Dosot, dan lagi ada hadiah, memberikan pengiringnya senjata keris, Semuanya yang berjumlah empat puluh, sama-sama satu bilah, akan tetapi ketika Dalem memberikan keris pembagian kepada para pengiringnya satu demi satu, ternyata ada masih tertinggal sebilah, berupa Mundarang Cacaran Bangbang (sejenis bentuk keris)

Selanjutnya kembali dikumpulkan keris itu bersama, setelah terkumpul cukup empat puluh itu, selanjutnya lagi keris itu dibagi-bagikan, sebanyak empat puluh itu, setelah mendapat bagian satu demi satu, lalu ada lagi sisanya satu bilah, berupa Mundarang Cacaran Bangbang, seperti tadi, bingung hati Beliau Dalem Sagening, beserta Ki Gusti Ngurah Jarantik, dan setelah selesai diulang-ulang lagi, terus-menerus keris itu dibagikan, ada juga sisanya keris sebilah, seperti semula.
Setelah demikian baru teringat dalam hati beliau Sri Aji Bali, terpikirkan bahwa keris itu yang tertinggal, pusaka buat Ki Gusti Panji (Ki Barak Panji) sebenarnya, itulah sebabnya keris yang tersisa, selanjutnya diberikan Ki Gusti Panji, sudah merupakan pusaka Dalem diberikan kepadanya, lain dari pada itu , ada pemberian Dalem lagi berupa sebilah tombak, bernama Ki Tunjung Tutur, Ki Pangkajatatwa nama lainnya.
Setelah beliau Dalem menganugerahi Ki Gusti Panji, pada saat hari yang baik , beliau Ki Gusti Panji mohon diri, selanjutnya beliau pergi ke Den Bukit, dengan membawa keris pemberian Dalem, disertai oleh ibunya, diiringi oleh Ki Dumpyung yang membawa Ki Pangkajatatwa, serta Ki Dosot, beserta pengiring abdi yang lain berjumlah tiga puluh

Diceritakan perjalanan Ki Gusti Panji, setelah beliau pergi dari kota Gelgel, mampir di Jarantik, mengadakan pemujaan di bagian kota Jarantik, selanjutnya pergi menuju arah utara, selanjutnya ke barat, memasuki daerah Samprangan, selanjutnya terus ke barat, memasuki daerah Kawisunya, dicapai wilayah Bandana itu, selanjutnya beliau menuju ke arah barat laut, menuju daerah Danau Pabaratan, setelah empat hari perjalanan Beliau Ki Gusti Panji, menginap dalam perjalanan, ketika matahari sudah condong ke barat, , mendaki bukit Watu Saga, wilayah Den Bukit, berhentilah beliau di sana, seraya makan bekal beliau berupa ketupat, lalu beliau tersedak-sedak waktu makan (kilen-kilen), kemudian Ki Dumpyung disuruh pergi jauh untuk melihat air di bawah, dan senjata Ki Pangkajatatwa, diterima oleh Si Luh Pasek Panji, lalu pangkal tangkainya ditancapkan di tanah, maksudnya untuk menaruhnya, nyata-nyata terbukti Hyang Widi murah hati beliau, lalu memancar keluar air suci dari dalam tanah, yang ditancapi itu, kira-kira sebesar bejana mata air itu keluar, akan tetapi tidak ada yang mengalir ke luar dari lubang itu, hanya tetap berada seperti semula, sangat luar biasa kesucian air itu, tak terkira senang hati mereka semua, terutama beliau Ki Gusti Panji, lalu beliau minum air itu, demikian ceritanya air itu dahulu, selanjutnya diberi nama Banyu Anaman, Toya Katipat nama lainnya, hingga sampai sekarang

Setelah Semuanya selesai makan, beserta pengiringnya semua, selanjutnya kembali beliau melanjutkan perjalanan, membelok ke barat, ketika hari sudah sore, matahari pun sudah condong ke barat, dan tenggelam ke laut. Beliau Ki Gusti Panji kebetulan berada di dalam perjalanan, di atas Danau Bubuyan, tiba-tiba datang berupa manusia kelihatannya, bernama Ki Panji Landung, langsung dicegat Ki Gusti Panji, diusung ke atas, tak terkira tingginya Ki Panji Landung, setelah terasa langit itu bagaikan disundul pikirnya, lalu Ki Gusti Panji disuruh melihat ke timur, kelihatan oleh beliau Ki Gusti Panji gunung Toya Anyar, disuruh melihat ke utara, tidak kelihatan apa-apa, hanya kelihatan samudera luas, kemudian beliau disuruh melihat ke barat, kelihatan membiru gunung Banger yang tinggi, selanjutnya lagi beliau disuruh menghadap ke selatan, selanjutnya Ki Gusti Panji menyuruh agar diturunkan, sebab beliau tak kuasa mendengar tangis ibunya memandang ke udara, sendirian di bawah berbaring di tanah, disertai pengikutnya semua, itu sebabnya Ki Gusti Panji diturunkan dari atas, lalu sambil berkata menyatakan anugerah Ki Panji Landung, hanya sedemikian kemampuanmu melihat, dapat anda kuasai kemudian, sebagai pemimpin di daerah Den Bukit, anda kuasai sampai ke pelosok-pelosok semua, demikian kata-kata Ki Panji Landung, memberi anugerah Ki Gusti Panji, setelah Ki Gusti Panji menginjak tanah, gaiblah Ki Panji Landung, segera timbul girang hati ibundanya, beserta pengikutnya semua, selanjutnya semua berjalan, tak menghiraukan siang malam, sebab hampir tiba tempat yang dituju, sama-sama mengharapkan supaya segera tiba di daerah Panji, kenyataannya berkat anugerah dewata, supaya tidak mendapat halangan dan lain-lainnya, dan beliau selamat dalam perjalanan, keesokannya pagi-pagi terang-terang tanah, tiba-tiba Beliau Ki Gusti Panji sudah sampai di daerah Panji, menuju rumah sanak keluarga ibunya, sangat senang hati sanak keluarganya semua, bergegas-gegas menjemput, menyiapkan suguhan selengkapnya, tak lama beliau Ki Gusti Panji ada di daerah Panji, pengiringnya sebanyak tiga puluh delapan kembali pulang ke Swecanagara, hanya yang masih ikut Ki Dumpyung beserta Ki Dosot, karena terikat oleh cintanya bertuan, tidak pernah berpisah mereka berdua, mengikuti perjalanan beliau Ki Gusti Panji, ke mana-mana pun bercengkrama, membawa keris pemberian

Diceritakan mereka yang sudah berhasil menjadi pemimpin daerah Panji, yang bernama Ki Pungakan Gendis, beristana di Desa Gendis, semua orang yang masuk ke daerah Gendis menjadi terdiam, Semuanya terdiam dan tunduk menghormat kepada Ki Pungakan Gendis, pada saat hari yang baik, beliau pergi bersabung ayam ke desa lain, mengendarai kuda berbulu coklat tua (kuda gendis), sungguh banyak prajurit beliau mengiringi, diapit kanan kiri, beserta di belakangnya, dilengkapi dengan payung kebesaran, beserta kendi berbentuk angsa tempat air, puwan berperada dengan indahnya, seperti tingkah lakunya dahulu, perjalanan beliau lurus ke utara, mengikuti jalan besar, kebetulan I Gusti bermain-main, dengan diiringi oleh dua orang abdinya, mencari-cari umbi ketela pada tegalan di bagian barat jalan, dan keris pemberian Dalem tidak lepas dibawanya, dipakai mencungkil ketela, tiba-tiba ada terdengar sabda dari angkasa di dengar oleh Ki Gusti Panji, adapun sabda itu, "Ai Barak Panji, jangan kamu syak wasangka kepada Kakek, tidak pantas perbuatanmu mencari ubi rambat, jangan kamu ragu-ragu kepadaku, sebab ada yang utama dalam dirimu, suatu saat kamu menjadi pemimpin di sini, sebab berbakat dicintai oleh rakyat dalam dunia, dan lihatlah keutamaanmu sekarang, tunggulah sebentar, ada sebagai musuhmu, bernama Ki Pungakan Gendis, yang berkuasa di Desa Gendis, wajib kau bunuh, jangan kamu ragu-ragu dalam hati, tudingkan saja aku ke arahnya, berkat aku terjadi kematiannya, demikian terdengar sabda itu, didengar oleh Ki Gusti Panji, beserta abdinya berdua, dihentikanlah keris itu dijadikan main-mainan, kemudian selanjutnya disarungkan.
Diceritakan Ki Pungakan Gendis, setelah laju perjalanan beliau, melewati jalan, dilihat oleh Beliau Ki Gusti Panji, timbullah marah beliau dalam hati, akibat dari pengaruh kekuatan keris itu, oleh karena belum tercapai tujuannya, sebab sudah lewat kepergiannya Ki Pungakan Gendis, lalu dinantikan saat kepulangannya dari sabungan ayam.
Diceritakan setelah bubarnya orang-orang dari sabungan ayam, Ki Pungakan Gendis kemudian pulang, dilihat oleh Ki Gusti Panji, Ki Pungakan Gendis sudah hampir tiba di tempat penantiannya, lalu Ki Gusti Panji segera, berlindung naik ke pohon leca, yang tumbuh di pinggiran jalan, seraya menghunus keris pemberian Dalem, kemudian datang Ki Pungakan Gendis, sudah dekat dengan pohon leca itu, lalu diacungkan keris ke arahnya oleh Ki Gusti Panji , lalu Ki Pungakan Gendis meninggal, masih dalam keadaan menunggang kuda, akan tetapi tidak diketahui oleh pengikutnya, hanya berjalan dan berjaga di sana-sini.
Setelah itu tiba Ki Pungakan Gendis, di hadapan rumahnya , setelah kudanya berhenti yang dikekang oleh pengikutnya, Ki Pungakan Gendis juga tidak turun, teguh bagaikan lukisan, badannya kaku bagaikan mayat, matanya mendelik sayu, saat itu baru diketahui, jika Ki Pungakan Gendis, sudah meninggal, akan tetapi tidak ada yang mengetahui sebab kematiannya.
Ada anak Ki Pungakan Gendis, perempuan seorang diri, bernama I Dewa Ayu Juruh, mungkin barn akan menjelang dewasa, sangat cantik tanpa ada celanya, membuat orang jatuh cinta, sedangkan adiknya yang laki-laki masih kanak-kanak, yang diharapkan menggantikan kedudukan ayahnya, oleh karena ia belum tahu mencari akan akal upaya, lalu dimandatkan pada Ki Bendesa Gendis, memerintah desa Gendis

Entah berapa lama, tiba-tiba ada perahu dari luar daerah, terdampar di pesisir Panimbangan, sangat susah hati Ki Mpu Awwang, kemudian meminta bantuan kepada Ki Bendesa Gendis, untuk menarik perahu itu, dan membuat perjanjian, jika tujuan berhasil, semua isi perahu hadiahnya, sebab perahu itu sarat dengan muatan segala ragam yang indah-indah, seperti pakaian, cangkir, piring, pinggan, serta bermacam-macam ramuan, menyebabkan tertarik hasrat Ki Bendesa Gendis, lalu beliau bersedia membantunya, lalu mereka menyuruh terus menerus menabuh kentongan, mendatangkan pengikutnya semua, membawa tali, bambu, beserta alat perlengkapan untuk menarik, setelah Semuanya sudah datang, segera serempak pergi ke laut, sesampainya semua saling bantu penuh usaha untuk menolong, saling mengeluarkan gagasan / ide, akan tetapi tidak berhasil, sedikit pun perahu itu tidak bergerak, mereka semua merasa malu dan marah, akhirnya semua pulang ke rumahnya masing-masing.
Setelah itu lalu didengar oleh I Gusti Panji, jika demikian keadaannya, selanjutnya beliau pergi ke tempat perahu yang terdampar itu, tidak lupa beliau membawa keris pemberian Dalem itu, serta diiringi oleh Ki Dumpyung beserta Ki Dosot, setelah beliau tiba di pesisir pantai, dijumpainya Ki Dampu Awwang, sedang menangis meratap-ratap, sambil berkata berkaul , siapa gerangan yang mampu menolong perahunya, supaya berhasil melaju ke laut, semua isi perahu ini hadiahnya, oleh karena demikian didengar oleh Ki Gusti Panji, lalu beliau bersedia untuk menarik perahu itu, seraya keris itu dihunusnya, setelah keris itu diacungkan, terdengarlah sabda, jangan khawatir, demikian didengar sabda itu oleh Ki Gusti Panji, beserta dua orang abdinya, lalu percayalah beliau dalam hati, berhasillah perahu itu didorong, dihempaskan oleh keris itu, bagaikan diberi kekuatan beliau oleh Hyang Widhi, berhasil perahu itu bergerak, ke tengah laut, tak terkira larinya ke tengah samudera, selanjutnya kembali perahu itu ke pinggir, ditambatkan di air, Ki Mpu Awwang tidak lupa akan janjinya, seluruh isi perahu itu, Semuanya sudah diberikan Ki Gusti Panji, setelah selesai, perahu itu kembali pulang ke Jawa, tak terkira senang hatinya Ki Mpu Awwang. Mulai saat itulah Ki Gusti Panji dipenuhi oleh kekayaan, serta mulai saat itu pula keris pemberian Dalem yang tampak keutamaannya, selanjutnya diberi julukan Ki Semang.

Setelah selama dua puluh tahun usia Ki Gusti Panji, semakin terkenal di Gendis serta keutamaannya menurut tata krama, perkataan beliau manis, membuat hati semua orang senang, membuat tertarik hati penduduk desa Gendis, selanjutnya semua hormat dan tunduk kehadapan Ki Gusti Panji, luar biasa baktinya menghamba, tetua (walaba) beserta rakyat sama-sama membela, tidak merasakan panas dan dingin, menghamba kepada Ki Gusti Panji, selanjutnya dinobatkan bergelar Ki Gusti Ngurah Panji, selanjutnya orang-orang desa Gendis, beserta parahyangan agung di bagian barat desa Gendis, dipindahkan ke desa Panji, oleh Ki Gusti Ngurah Panji, sesuai dengan kesepakatan orang-orang desa semua, selanjutnya banyak tempat tinggal, berbondong-bondong menggotong rumahnya, dan tempat suci Ki Gusti Ngurah Panji, sudah selesai dikerjakan oleh rakyat semua, setelah kedudukan Ki Gusti Ngurah Panji kokoh, berkat dukungan baik seluruh desa-desa, kawinlah beliau dengan Ki Dewa Ayu Juruh, seia sekata beliau dalam bersuami istri, oleh karena keduanya sama-sama mencintai.
Konon setelah beliau kaya, akhirnya beliau membuat kepala keris dari emas, berbentuk Ratmaja diisi dengan permata Mirah Adi bertatahkan Zamrud (air Lembu). diberi seragam delapan sangat menarik bagaikan hidup kelihatannya, diberi nama Ki Awak, oleh karena jiwanya sendiri merasuk dalam keris kepala itu. Tidak ada yang menyamai, telah sesuai keindahannya dengan sarung gading yang diukir, putih tidak bercela, diberi sarung dari kain halus, bagaikan menambah keutamaannya keris Ki Semang.
Entah berapa lamanya, berhasil terkenal di dunia, kewibawaannya Ki Gusti Ngurah Panji, sebagai penguasa desa Panji, lalu tak terkirakan berbondong-bondong datangnya orang-orang dari Lor Adri, selanjutnya tinggal di desa Panji, mengabdi ke hadapan Ki Gusti Ngurah Panji, segera penuh sesak, tertib, indah kelihatan desa itu, oleh karena ditambah oleh orang-orang keturunan utama dari Ler Adri, sama-sama taat menghamba kehadapan Ki Gusti Ngurah Panji.
Entah berapa tahun lamanya, tidak menyimpang anugerah Ki Panji Landung, lalu tunduk orang-orang dari timur sungai We Nirmala, sampai di ujung desa Toya Anyar, dari pesisir laut sampai ke pegunungan, seperti Kyai Alit Menala, dari Kubwan Dalem, sama-sama tunduk mengabdi, tidak ada yang berniat jahat dalam hatinya, setelah Semuanya setuju, lalu Ki Gusti Ngurah Panji, membangun daerah, selanjutnya memindahkan pusat kerajaannya, dari Sangket Sukasada, disebut Sukasada karena merupakan tempat kedudukan, sebab selalu menimbulkan kesenangan sang raja beserta semua abdi dan rakyatnya.
Beberapa lama kemudian, keadaan desa di barat We Kulwan menjadi kalah tenteram, kagum dan tunduk, semua penguasa, beserta rakyatnya, semua kelurahan tunduk mempertuan Ki Gusti Ngurah Panji, ada yang bernama Kyayi Sasangkadri beristana di Tebu Salah, buyut dari Kyayi Cili Ularan, tidak mau tunduk, itulah sebabnya Ki Gusti Ngurah Panji, pergi untuk menyerang, diiringi oleh banyak prajurit ramai keadaan perang itu, sama-sama hebat berani dalam peperangan, selanjutnya kalah beliau Kyayi Sasangkadri, tunduk menyerahkan dirinya, selanjutnya beliau menghamba, berjanji beserta anak cucunya semua, sebesar-besarnya keturunan beliau supaya tidak ada yang berani menentang selama-lamanya terus-menerus, senanglah hati Ki Gusti Ngurah Panji, lalu Kyayi Sasangkadri, ditempatkan sebagai tetua Tebu Salah, sebab demikian keutamaan Ki Gusti Ngurah Panji, sangat berani dalam medan perang, disenangi oleh rakyat, sebagai pemimpin daerah Den Bukit, sebagai pemimpin berkat keris Ki Semang, beserta tombaknya Ki Pangkajatatwa, itulah sebabnya tenteram penduduk di daerah Ler Gunung, mulai saat itu diberi julukan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti oleh rakyat, karena kesaktiannya luar biasa, sesudah memimpin di Ler Gunung, sebagai pemimpin menetap di istana Sukasada, sebab dahulu orang-orang di sana selalu bersenang-senang, menikmati kegembiraan hatinya, mengikuti pemimpinnya, penuh sesak sampai ke balai rung, sesuai dengan tingkah lakunya yang baik, tidak ada yang berani menentang perintah beliau raja

Diceritakan beliau raja membuat seperangkat gamelan kerajaan, penuh dengan perlengkapannya, terompong di depan dan di belakang, diberi nama Juruh Satukad, oleh karena suaranya sangat manis, bagaikan banjir aliran madu, memenuhi sungai umpamanya.
Gongnya dua buah, diberi nama Bentar Kadaton, sebab bagaikan belah Keraton itu saat ditabuh (ginuwal) suaranya mendengung. Dan lagi disebut Ki Gagak Ora waktu berbunyi, bagaikan suara gagak beribu-ribu. Serta petuk kajarnya, terkenal bernama Ki Tundung Musuh mengagumkan diberi nama Glagah Katunuwan, suaranya seperti pohon gelagah yang kering terbakar, suaranya luar biasa bagaikan membelah telinga manusia, dan lagi gong kecilnya, suaranya sangat gemuruh, bagaikan guruh bertebaran umpamanya, itulah sebabnya diberi nama Gelap Kasangka, sebab bagaikan pergantian suara tatit pada saat bulan Kasanga (Maret/April) perumpamaannya, demikianlah keterangan gamelan kerajaan Sri Anglurah Panji Sakti, itulah sebabnya musuh dan pengacau menjadi takut, , tidak berani melihat kesaktian beliau, tidak diceritakan selanjutnya.
Diceritakan ada seorang brahmana, sangat hebat kesaktiannya, beliau sudah mencapai tingkat astaiswarya , Mpu Nirartha nama beliau, anak Dang Hyang Asmaranatha, Beliau Mpu Nirartha pergi ke Bali, setelah beliau tiba di Bali, beliau tinggal di Kemenuh wilayah Bala Batuh, ada anak beliau beribu brahmani dari Yawadwipa, yang tertua perempuan beliau lenyap ke alam gaib, tinggal di Melanting Mpu Laki sebagai Dewa di sana sampai sekarang, yang laki bernama Pedanda Kemenuh, banyak saudaranya lain ibu, brahmani dari Pasuruhan, ada yang beribu dari kesatria Blambangan, ada saudaranya beribu dari Bendesa Mas. Ada juga beribu Sudra, abdi dari Ki Bendesa Mas.
Beliau Pedanda Kemenuh sebagai putra laki-laki tertua, beliau pindah ke Ler Gunung, desa Kayu Putih, beliau memiliki pengetahuan yang tinggi sangat pandai dalam hal ilmu weda, sangat mahir membuat keris, keluhuran ilmu Pasupatinya, beliau sangat terkenal di masyarakat, oleh karenanya ada sebutan keris buatan Kayu Putih, demikianlah keutamaan beliau, lalu dimintalah beliau, oleh Ki Gusti Panji Sakti, beliau diberi kedudukan sebagai bagawanta, dinobatkan menjadi pendeta kerajaan, dan beliau disuruh mengalih ke banjar Ambengan, beliau diberi pengikut/abdi sebatas barat sungai Bok-Bok, lebih kurang, 3000 banyaknya, selanjutnya Pedanda Sakti Ngurah sebutan beliau di masyarakat, oleh karena sangat kasih sayang serta taat hati beliau ( Ki Gusti Panji Sakti ) kepada pendeta gurunya, dibuatkan rumah di Sukasada, sehingga saling berdekatan tempat tinggalnya, disebut Griya Romarsana, setelah saatnya tiba, akhirnya beliau dipanggil menuju alam baka, berada di pertapaan Kayu Putih, sebab beliau tidak menyadari akan tibanya ajal, ada putra beliau yang menggantikan, seperti kedudukan bapaknya, sebagai bagawanta baginda raja, lalu mengumpulkan rakyat, Pedanda Sakti Ngurah juga namanya oleh baginda raja, beliau tak mengenal lelah meniru keahlian ayahnya untuk menyenangkan baginda raja, selanjutnya mempunyai kegemaran membuat keris, sangat luar biasa keris buatannya, itulah sebabnya ada sebutan keris buatan Banjar, senjata tajam mengandung kesaktian, demikian Pedanda Sakti Ngurah sangat cintanya, sebab beliau ingat akan leluhurnya, tidak ada lain asalnya memang bersaudara, pada saat masih berada di daerah Yawadwipa, itulah sebabnya ada perjanjian beliau berdua ada di desa Romarsana, agar tidak berpisah, saling menjaga, dalam suka duka, sama-sama senasib dan seperjuangan, satu bersenang semuanya bersenang, satu bersedih semuanya bersedih, sehingga bagaikan tingkah laku persaudaraan, lalu ditiru oleh masyarakat, demikianlah perjanjiannya, semua sudah bahagia, itulah sebabnya desa Romarsana disebut Sangket, sebab dipakai sebagai tempat mengikat perjanjian, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dengan beliau yang dihormati Pedanda Sakti Ngurah, lanjut serta anak cucu beliau, agar meniru kebiasaan baik leluhurnya. dari putra yang tertua Sri Bagawan Dwijendra, Pedanda Sakti Wawu Rawuh nama lain beliau, sebab beliau mengawali datang ke Pulau Bangsul / Bali.
Kembali diceritakan, putra Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, lahir dari I Dewa Ayu Juruh, kedudukannya sebagai putra mahkota, yang tertua bernama Ki Gusti Ngurah Panji, seperti nama ayah beliau, dan yang kedua bernama Ki Gusti Ngurah Panji Made, serta yang bungsu bernama Ki Gusti Ngurah Panji Wala, sama-sama tampan tak tercela keadaannya, amat tenteram hati beliau raja, ada terbetik dalam hati, bersiap untuk menyerang menuju daerah Brambangan, daerah Yawadwipa, sebab beliau ingat akan anugerah Ki Panji Landung, pada saat dulu, lalu beliau membuat akal-upaya selengkapnya, seluruh prajurit pemberani dipanggil, yang sudah sering menyerang musuh, Semuanya prajurit yang perwira sebagai pimpinan, dua puluh jumlahnya, sama-sama keturunan pemberani, diajak bermain gagak-gagakan, oleh baginda Raja Panji Sakti, dan mereka semua bergilir menjadi burung gagak, ditanya oleh baginda Raja, "Gagak apa yang kamu harapkan?" Si gagak kemudian menjawab, ada yang meminta makanan, minuman, anak gadis, mas permata, busana, serta manikam, bermacam-macam permintaannya masing-masing, semua sudah dipenuhi permintaan goak itu, sama-sama senang hati gagak itu menikmati makanan dan minuman, sandang, pakaian dan pangan, tidak jemu-jemu sama-sama memenuhi keinginan, setelah demikian, selanjutnya beliau Raja menjadi gagak, ditanya oleh para patih semua, "Gagak apa keinginanmu?", Si gagak lalu menjawab, "gagak, goak, gak, keinginanku menundukkan Brambangan", semua prajurit bersorak, sebab penuh sesak para prajurit yang menonton. Setelah selesai, bersiap-siap mengatur para prajurit itu, penuh dengan persiapan, beserta perahu sudah banyak disiapkan, sudah siap ditambatkan tinggal menunggu komando baginda Raja, berayun-ayun dalam samudera sampai ke sungai pelepasan.
Pada saat hari yang baik, yang disarankan oleh Sri Bagawanta, beliau Sri Bupati berangkat, dengan menaiki perahu, diiring oleh rakyatnya banyak, adapun jalur yang dilalui perahu itu, menuju Candi Gading daerah pinggiran pantai Tirta Arum, selanjutnya menyerang ke daerah Banger, disergap oleh Dalem Brambangan, luar biasa ramainya pertempuran itu, jenazah bagaikan gunung, berlautan darah, di medan pertempuran, selanjutnya beliau bertemu dengan Dalem Brambangan, yang berada di tengah medan laga, selanjutnya satu demi satu mengadu kekuatan di medan laga, sama-sama ikhlas berani dan tangkas bertarung, entah berapa lama perang itu berlangsung, lalu terjebak Dalem Brambangan , dadanya ditikam oleh beliau Sri Panji Sakti, dengan keris Ki Semang, lalu beliau Dalem Brambangan terjerembab, selanjutnya menghembuskan nafasnya yang terakhir, akhirnya kekuasaan Brambangan jatuh menjadi tunduk, Semuanya tunduk memohon supaya tetap hidup.
Didengarlah oleh Baginda Raja Solo, akan kehebatan Sri Panji Sakti, lalu beliau menjalin persahabatan berdua, selanjutnya beliau Sri Panji Sakti diberi gajah tunggangan, setelah Semuanya selesai, Sri Panji Sakti kembali pulang ke Bali, dengan membawa panji-panji hasil rampasan, segala macam yang utama, akan tetapi ada yang disakitkan dalam hati, sebab anaknya yang masih muda, yang bernama Ngurah Panji Nyoman, Danudresta nama lainnya, sudah gugur dalam medan pertempuran di Brambangan, tak lama berduka cita kemudian beliau kembali sukacita, seperti keadaan semula, sebab dihibur oleh Sri Maha Rsi Bagawanta, Pedanda Sakti Ngurah. Demikian kehebatan beliau Sri Panji Sakti terdengar
Diceritakan Sri Panji Sakti, merintis membangun kota (pura), di pategalan daerah Balalak, tempat orang menanam Buleleng, ada dijumpai di sana, ibu leleng, banyak orang-orang yang tinggal di sana, tempat tanah lapang itu, di bagian utara wilayah Sukasada, setelah menjadi besar tempat kota itu, banyak orang berbondong-bondong pergi pindah ke sana, akhirnya penuh dengan rumah tempat tinggal, selanjutnya diberi nama Kota Buleleng, dan istana tempat tinggal baginda raja, diberi nama Singaraja, sebab jelas bagaikan singa keberanian baginda Raja, serta gajah beliau yang bagaikan gajah Nirwana, dibuatkan kandang di bagian utara kota, itulah sebabnya bernama Petak desa itu, dan yang menggembalakan gajah, adalah tiga orang dari Jawa, pemberian raja Solo, dua orang bertempat di daerah bagian utara Petak, itu selanjutnya bernama Kampung Jawa, serta yang seorang lagi, bertempat di Lingga dekat dengan pesisir Toya Mala, sebab asalnya dari Prabulingga Yawadwipa, di antara desa Petak dan desa (Kampung) Jawa, bernama desa Paguyangan, sebab tempat gajah beliau berguling-gulingan digembalakan di sana, demikianlah ceritanya dahulu.
Setelah lama-kelamaan, orang Jawa di Kampung Jawa, mengembangkan keturunan, kemudian dibagi atas perintah baginda Raja, ditempatkan di hutan Pagatepan, selanjutnya juga diberi nama Pagayaman, sebagai penjaga benteng di daerah pegunungan.
Entah berapa lama, kembali Sri Panji Sakti, pergi menyerang Jaranbana, oleh karena kehebatan keris Ki Semang, akhirnya hancur daerah Jaranbana, dapat ditaklukan oleh Sri Panji Sakti.
Tak terhitung berapa lama kemudian, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, mendengar berita, ada seorang putri yang sangat cantik bernama Ki Gusti Ayu Rai, saudara dari Ki Gusti Ngurah Made Agung, yang berkuasa di Mengwi, beliau sekarang ingin melamarnya, akan dipakai sebagai istri, utusan pun sudah berjalan, lalu ditolak mas kawin beliau, akhirnya main beliau Ki Gusti Ngurah Panji, timbullah kemarahannya, ingin untuk menghancurkan wilayah Mengwi, oleh karena kewibawaannya dijadikan kebanggaan, setelah mampu menguasai daerah Banger, selanjutnya beliau mengirim utusan, menantang wilayah Mengwi untuk bertempur. Keinginan beliau untuk mengadu, prajurit andalan beliau yang berupa gagak-gagak itu, bersama prajurit Mengwi, sebab terkenal bernama Teruna Batan Tanjung, beserta Teruna Munggu, disanggupi oleh penguasa Mengwi, sama-sama mendorong prajurit beliau untuk bertempur, ramai pertempuran itu, saling amuk, sama-sama tikam, menikam, sama-sama pemberani, dilihat oleh beliau berdua, lalu disuruhnya untuk mengakhiri perang itu, oleh karena keinginan beliau Ki Gusti Ngurah Made Agung, mencoba keberanian dan kehebatan orang-orang Ler Gunung, sekarang telah beliau ketahui benar-benar keberaniannya dalam pertempuran, ikhlas hatinya memberikan adiknya, pada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, tidak diceritakan perundingan beliau berdua, setelah sama-sama sepakat, maka sebagai raja yang berwibawa, baginda di atas singasana, selanjutnya Ki Gusti Ngurah Panji Sakti beserta Ki Gusti Ayu Rai dinikahkan, setelah demikian keadaannya, kembali beliau penguasa Den Gunung, diiringi istri beliau Ki Gusti Ayu Rai, sebagai balas jasa cinta kasih beliau kepada raja Mengwi, diserahkan daerah Brambangan, beserta Jaranbana, oleh baginda penguasa Ler Gunung.
Setelah beliau tenteram berada di daerah Buleleng, tidak ada yang berani menentang atau melawan keinginannya, sehingga Ki Ngurah Panji Sakti memikirkan ingin menghadapi dengan alasan untuk bertempur, maka Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, pergi ke gunung Batukaru, daerah kekuasaan Bandana, diiringi banyak prajuritnya, dilengkapi dengan senjata, setiba beliau di sana, segera beliau merusak parahyangan Agung Batukaru, semua bangunan suci dirusaknya, dipindahkan dari tempatnya, tiba-tiba ada lebah berpuluh-puluh jumlahnya, masing-masing segenggam besarnya, tidak diketahui dari mana asal mulanya, bagaikan kehendak dewata, berhamburan menyerang beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, bagaikan bencana dari Dewata pikirnya, tidak tertahan oleh beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, selanjutnya beliau lari beserta dengan prajuritnya, tidak melihat lagi ke belakang, sebab beliau sudah merasa dalam hati, bahwasanya itu kutukan Dewata pada dirinya.
Lama-kelamaan, kembali Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, menantang perang, datang ke wilayah Badeng, beserta dengan prajurit serta perlengkapannya, dengan menunggangi gajah besar, setiba beliau di daerah bagian utara tempat suci ( pura Satria ) Badeng, dihadang oleh banyak prajurit dari daerah Badeng, perangpun terjadi , tikam-menikam, namun akhirnya berdamai juga dengan penguasa daerah Badeng, daerah tempat pertempuran itu selanjutnya diberi nama Taensiat, sampai sekarang, oleh karena tempat permulaan terjadinya perang antara prajurit Den Bukit, melawan prajurit Badeng. Selanjutnya Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, mengambil istri dari golongan Wesya dari Banjar Ambengan Badung
Beberapa lama kemudian, ada terdengar berita, oleh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, bahwa cucunya Ki Gusti Ngurah Jarantik, di daerah Jarantik dikecewakan oleh Dalem Bali, di daerah Gelgel, kesalahannya karena tidak memberikan keris pusakanya, yang diinginkan oleh Dalem, itu yang menyebabkan beliau sedih dalam hati, beliau ingin meninggalkan daerah Jarantik, berusaha menyelamatkan diri, oleh karena terpikir pasti mati, jika tidak pergi dari daerah Jarantik, pergi jauh, terdorong atas kejengkelannya Ki Gusti Ngurah Agung, yang begitu iri hati ke hadapan Ki Gusti Ngurah Jarantik, oleh karena demikian keadaannya, beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti segera, pergi ke daerah Jarantik, didapatkan orang-orang yang berada dalam istana sangat sedih dalam hati, terutama Ki Gusti Ngurah Jarantik, menceriterakan kesusahannya, setelah selesai daya upayanya, akhirnya mereka serempak pergi dari daerah Jarantik, mencari tempat menuju ke desa Tojan daerah Bala Batuh, atas perintah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, selanjutnya beliau mengantarkan, lalu beristirahat di daerah utara desa Beng Gianyar, ada tanaman-tanaman penduduk di sana berupa kacang tanah, dimakan oleh gajah tunggangan beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, karenanya ada wilayah yang bernama Kacang Bedol, sampai sekarang, oleh karena gajah tunggangan beliau memakan kacang yang ada di sana, tidak diceritakan perjalanan beliau yang mengungsi, lalu tiba di daerah Tojan, dijemput oleh Ki Bendesa Wayan Karang, yang menguasai daerah Tojan, selanjutnya beliau membangun istana, tunggangan beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, digembalakan di daerah bagian barat laut daerah Tojan, itulah sebabnya bernama daerah Angon Liman, Bangun Liman nama lainnya sampai sekarang, dan di bagian timurnya ada semak belukar, tempat beliau Panji Sakti berburu, dinamakan Buruwan sampai sekarang.
Entah berapa lama beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti berada di Tojan, oleh karena sudah handal kedudukan Ki Gusti Ngurah Jarantik, bukan main senangnya beliau berdua dalam hubungan keluarga, sama-sama memperingatkan perjanjian, sehingga tidak luntur rasa cinta kasih dan keteguhan ikatan kekeluargaannya, serta keturunannya, suatu kedudukan untuk cucunya kemudian, sesudah sama-sama menyepakati ikrar itu, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, menunjukkan kebesarannya, lalu menghadiahkan tombak Ki Pangkajatatwa, kepada cucunya Ki Gusti Ngurah Jarantik, sebagai pemberian resmi kepada cucu, tujuannya sebagai tanda sampai di kemudian hari, setelah beliau selesai memberikan wejangan kepada anak cucunya tentang ajaran Kamahayanikan, serta tata cara memimpin wilayah, lalu beliau kembali pulang ke Den Gunung, demikian ceritanya.
Entah berapa lamanya, oleh karena sudah kehendakNya, terjadilah kehancuran di daerah Gelgel, ketika itu Sri Dalem Dewa Agung Jambe masih kecil, oleh karena sifat loba dan durhakanya Kyayi Agung Maruti, mengharap-harapkan akan menggantikan raja Gelgel, serta sudah banyak para menteri dan rakyat yang senang menghamba kepadanya ( Kyayi Agung Maruti ), oleh karena kelicikan Kyayi Agung, merangkul semua orang, perkataannya sangat manis, dan lembut, akan tetapi banyak juga para Arya kesatria bujangga, tidak menyenangi tingkah laku Kyayi Agung, menyebabkan pikiran orang menjadi berbeda-beda, sama-sama mencari pemimpinnya yang disenangi sendiri-sendiri, sehingga terjadi keributan di wilayah Gelgel, Sri Dalem Cili, dilarikan oleh para menterinya, dibawa bersembunyi ke Singharsa, disangga selengkapnya oleh beliau Ngurah Singarsa, berkat baktinya bertuan.
Tidak lama kemudian, terjadilah persidangan para punggawa agung, yang masih tetap setia kepada Dalem, sebagai pemimpin beliau Ngurah Singharsa, setelah selesai memberikan surat kepada para manca semua, sampai ke Ler Gunung serta ke daerah Badung, semua menyetujui dan satu tujuan dengan Ngurah Singharsa, hendak menghancurkan Kyayi Agung Maruti, setelah mufakat sama-sama berangkat dari daerahnya masing-masing, seperti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sudah berangkat, lengkap dengan segala macam senjata, tak terhingga banyaknya, memenuhi jalan dengan riuhnya, bermarkas di desa Panasan sebelah barat Toya Jinah, oleh karena sangat kesusahan masyarakat di sana, oleh senjata dari Ler Gunung, oleh karenanya disebut Desa Panasan sampai sekarang, kemudian bertemu dengan prajurit Kyayi Agung dari Gelgel, sebagai senapati Ki Dukut Kerta, dihadapi oleh Ki Tamlang, patih beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, luar biasa ramai pertempuran itu, saling sergap, kemudian kalah pertahanan Ki Padang Kerta, dadanya tertikam, kepalanya dipenggal, matilah Ki Padang Kerta, oleh Ki Tamlang, kacau balau prajurit Ki Gusti Agung Maruti menjadi bubar, tak mampu bertahan, sehingga Ki Gusti Agung terpengaruh, ikut lari, melarikan diri dari pertempuran, seraya dikejar oleh prajurit dari Ler Gunung, seperti Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, dengan mengacungkan keris yang terbuat dari baja, bergagang kayu pelet berbentuk babodolan, yang sudah dihunus dari sarungnya, seberapa jauhnya Ki Gusti Agung Maruti lari, terus juga dikejar, lalu dibanjiri kanan kiri oleh prajurit dari Ler Adri, sehingga beliau ibarat anjing terpukul, oleh karena tidak ada jalan, sehingga beliau berbalik bersama prajuritnya, keinginannya untuk sekaligus dengan bertempur habis-habisan, mencari jalan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang ditujunya, beliau Ki Gusti Ngurah Panji Sakti penguasa dari Ler Adri sangat hati-hati, keinginannya untuk menandingi dalam pertempuran, ketika bersikap akan berbuat, kemudian tangkai keris itu pecah menjadi dua, tangkai keris yang berbentuk babodolan, rusak pukuh kerisnya, sehingga Ki Gusti Ngurah Panji Sakti kaget terhenti, selanjutnya mengganti senjata, mengambil keris pusaka Ki Semang, saat itu Ki Gusti Agung Maruti dapat kesempatan menghindar bersama prajuritnya, haripun menjelang malam, maka tidak dapat dikejar oleh Ki Gusti Panji Sakti, selanjutnya menuju Gelgel, di sana beliau mengutarakan sumpahnya, semua keturunannya sampai kemudian hari, tidak boleh mempergunakan senjata yang berkepala/berbentuk babodolan, oleh karena sangat tidak berguna, demikian ceritanya.
Entah berapa lamanya, pemerintahan Sri Panji Sakti, beliau tetap tinggal di istana Sukasada, beliau menurunkan banyak putra serta cucu, tidak ada yang berani menentang perintah beliau raja, Semuanya diam tunduk dan setia, masing-masing melakukan kegiatannya, dan entah berapa lamanya, setelah tiba ajalnya, akhirnya beliau Ki Gusti Ngurah Panji moksah, menuju alam Nirwana, meninggalkan sanak keluarga, meninggalkan banyak putra laki perempuan, masing-masing namanya, yang tertua Ki Gusti Ngurah Panji Gede, yang berhasil menggantikan menjadi raja Den Bukit, beliau tinggal di istana Sukasada, adiknya bernama Ki Gusti Ngurah Panji Made, satu ibu lahir dari I Dewa Ayu Juruh.
I Gusti Alit Oka, I Gusti Made Padang, satu ibu lahir dari golongan Wesya yang berasal dari Banjar Ambengan Badung. Beliau I Gusti Made Padang, mengambil istri I Gusti Luh Abyan Tubuh, anak Ki Gusti Sakti, raja Tabanan.
Ki Gusti Wayan Padang, Ki Gusti Made Banjar, satu ibu berasal dari desa Panji. Dan lagi I Gusti Ayu Panji, beribu Ki Gusti Ayu Rai, putri raja dari Mangwi, dipakai istri oleh Ki Gusti Anom dari Kapal Mangwi.
I Gusti Ngurah Panji Cede, mempunyai seorang putri, bernama I Gusti Ayu Jelantik Rawit, I Gusti Ngurah Panji Made, berputra I Gusti Ngurah Panji Bali, beristri I Gusti Ayu Jelantik Rawit, I Gusti Panji Tahimuk, I Gusti Made Munggu, I Gusti Nyoman Panji, I Gusti Oka paling kecil.
I Gusti Alit Oka, mempunyai seorang putri, bernama I Gusti Ayu Nambangan Mas, nama lain beliau I Gusti Ayu Den Bukit, dipakai istri oleh beliau Dalem Dewa Agung Made, yang berhasil melahirkan Dewa Agung Panji beserta keturunannya.
I Gusti Made Padang berputra Ki Gusti Gede Jelantik, beliau pindah ke Jineng Dalem. I Gusti Wayan Padang, berputra Ki Gusti Lanang Jelantik, I Gusti Panji Dalugdag. I Gusti Made Banjar, berputra tiga laki-laki, Semuanya ikut mengiringkan Ki Gusti Ayu Nambangan Mas Den Bukit, ke Klungkung. I Gusti Ayu Panji, kawin ke Mangwi daerah wilayah Kapal.
Sesudah sama-sama pergi ke alam baka, seperti Ki Gusti Ngurah Panji Gede, beserta Ki Gusti Ngurah Panji Made, lalu digantikan oleh Ki Gusti Ngurah Panji Bali, menjadi raja di daerah Den Bukit, selanjutnya beliau beristana di Sukasada, akan tetapi istana di Singaraja dipelihara sebagai tempat bersenang-senang, karena dibuat oleh leluhurnya, supaya tidak hilang dan hancur, tetap handal selama pemerintahan beliau, tidak ada yang berani berbuat durhaka.
Ada putranya Ki Gusti Ngurah Panji Bali, dua orang laki-laki berlainan ibu, yang tertua bernama Ki Gusti Ngurah Panji, beliau sebagai raja di istana Sukasada. Adiknya, bernama Ki Gusti Ngurah Jelantik, beliau yang menjadi raja di Singaraja, oleh karena sudah dibagi daerah Lor Adri oleh dua bersaudara itu, sama-sama lahir dari permaisuri.
Adapun I Gusti Made Munggu, berputra Ki Gusti Wayan Panji. Ki Gusti Wayan Gulyang, sama-sama berada di Singaraja, I Gusti Made Ksatra, I Gusti Made Ino, serta I Gusti Ketut Intaran Kawan, yang pergi ke Patemon, dan lagi I Gusti Nyoman Patandakan, yang pergi ke Bon Tihing. I Gusti Nyoman Panji, berputra I Gusti Wayan Ksatra; I Gusti Made Ino, dan I Gusti Ketut Intaran Kawan, sama-sama di Sukasada. I Gusti Oka, beliau tidak berputra. Adapun Ki Gusti Gede Jelantik, beliau mempunyai dua orang putri, bernama I Gusti Ayu Raka yang tertua, dipakai istri oleh beliau yang berkuasa di Sukasada, dan yang kedua, I Gusti Ayu Rai, dipakai istri oleh beliau yang berkuasa di Singaraja. Adapun tiga orang yang mengikuti I Gusti Ayu Nambangan Mas, di Klungkung, pindahnya dari Banyuning, mereka menetap tinggal di Banjar Lebah Klungkung, mereka menurunkan banyak keturunan di sana, tunduk setia kepada beliau yang diikutinya. Ki Gusti Lanang Jelantik, berputra Ki Gusti Alit Ksatra. Ki Gusti Panji Dalugdag, berputra Ki Gusti Bagus Panji Celuk, beserta saudaranya di Banyuning. Demikian beliau pergi mencari tempat tinggal, sebab rakyatnya sama-sama bakti menghamba.
Lama-kelamaan, sebagai manusia yang tidak luput dari kesulitan dan penyakit, tak terduga takdir Yang Maha Kuasa, terjadilah perselisihan di dalam keluarga, yang berkuasa di Sukasada, dengan yang berkuasa di Singaraja, semakin lama semakin keras bentrok mereka, tidak ada yang berani menghalanginya, sebab sama-sama sangat mempercayai fitnah, sehingga yang berkuasa di Singaraja, meminta bantuan kepada Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasern, Raja di Amlapura, sebagai pengatur siasat I Gusti Nengah Sibetan Wiweka, sebagai penguasa desa Selat, apa yang dikatakan, Raja di Singaraja Ki Gusti Ngurah Jelantik, membuat perjanjian imbalan terlebih dahulu, jika sudah mencapai tujuan, menyebabkan tunduk kakaknya, yang berkuasa di Sukasada, bersedia akan membagi pajak bumi Den Gunung, sama-sama memimpin bumi Buleleng, sebagai pemimpin hanya Ki Gusti Ngurah Jelantik, sebagai lambang adapun Sri Bupati dari Amlapura sebagai raja muda (iwaraja), sebagai pemimpin taktik dan strategi pemerintahan (makocering niti), maka perjanjiannya disetujui oleh beliau yang memimpin Karangamla, segera berkemas prajurit itu lengkap dengan senjata, lengkap dengan segala perlengkapan, seluruh pasukan Karangasern, siap untuk berangkat ke Den Gunung, menuju kota Singaraja
Tidak lama kemudian, didengar oleh kakaknya, jika adiknya meminta bantuan dari Karangasern, telah semua prajuritnya sampai di sana, luar biasa marahnya kepada adiknya, sehingga semua prajuritnya dipanggil dikumpulkan, disertai dengan senjata yang bertubi-tubi tan putus-putusnya, dengan maksud mendahului menyerang kota Singaraja, para prajurit menyebar menyerbu riuh rendah, hal itu diketahui oleh beliau penguasa Singaraja, sehingga sama-sama bersiaga, kemudian terjadilah perang, antara kedua istana itu, menjadi medan perang, setelah kedua belah pihak sama-sama melakukan pertempuran, saling berguguran. dorong mendorong, tikam-menikam, saling tombak, adapun sebagai pimpinan I Gusti Ngurah Jelantik, sehingga prajurit Sukasada menjadi terdesak, oleh karena kebanyakan musuh, dengan dibanjiri keberanian, tiba-tiba sama-sama melarikan diri bubar serta mundur, ada yang dirasakan dalam hati, akan hal kematiannya hampir tiba, itulah sebabnya Ki Gusti Ngurah Panji menjadi marah, menerobos ke tengah-tengah medan laga, ke depan dengan membawa keris pusaka Ki Semang, mengamuk dengan sangat hebatnya, banyak musuh beliau yang terbunuh, oleh karena kebanyakan lawan, sama-sama tidak hendak mundur, akhirnya kedua belah pihak Karangasern dan Singaraja berkumpul, menyerang mengurung, sehingga Ki Gusti Ngurah Panji dapat dikerubut, diusahakan merebut kerisnya, sehingga dapat diambil oleh musuhnya, akhirnya setelah lepas senjatanya beliau pun ditikam, darah beliau memancur, sehingga gugurlah beliau yang beristana di Sukasada, prajurit beliau semuanya tunduk memohon perlindungan, akhirnya semua prajurit Ler Gunung berkumpul menghamba kepada Ki Gusti Ngurah Jelantik, sebagai pemimpin daerah Den Bukit, beristana di Singaraja, sebagai raja muda beliau yang bergelar I Gusti Nyoman Karangasern, keturunan Arya Patandakan, sama-sama beristana di Singaraja, yang pindah dari Karangasern, atas perintah beliau Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasern.
Lama-kelamaan, setelah tiba ajalnya, beliau I Gusti Ngurah Jelantik wafat, namun karena liciknya daya upaya beliau raja Amlapura, akhirnya tersebar pula diketahui oleh rakyat, timbul pikiran loba dan tamak pada kawan, dengan mengandalkan kekuatan senjata dan rakyat, serta kereta perang dan perbekalan, di balik isi perundingan dulu, I Gusti Nyoman Karangasern dinobatkan menjadi raja Singaraja.
Adapun anak beliau I Gusti Ngurah Jarantik, yang tertua bernama Ki Gusti Bagus Jelantik Banjar, berkedudukan sebagai patih di istana Bangkang, di bagian barat We Mala.
Tak lama kemudian, Ki Gusti Nyoman Karangasern, memerintah sebagai raja wilayah Den Bukit, beliau meninggal karena diserang oleh penyakit, kemudian digantikan oleh Ki Gusti Agung Made Karangasern Sori, keturunan Karangasern, lebih kurang selama tiga tahun lamanya beliau berkuasa, beliau turun dari singgasana, oleh karena beliau tidak tegas memerintah rakyat, sehingga beliau memilih muka, tidak adil kepada rakyat.
Adapun yang menggantikan beliau, bergelar Ki Gusti Ngurah Agung, mulanya juga dari Karangasern, sejak lama mengembara di Jembrana, sehingga beliau meninggal di Pangambengan Jambrana, diserang oleh prajurit penuh dengan senjata, oleh karena rakyat Jambrana tidak setuju menghamba kepada beliau.
Kembali diceritakan, Ki Gusti Ngurah Panji, raja di Sukasada, yang meninggal di medan pertempuran dahulu, karenanya ada bernama desa Baratan, sampai sekarang, adalah bekas dua orang saudara bertempur, yang meninggal dalam pertempuran, meninggalkan putra, bernama Ki Gusti Ketut Panji, yang kalah dalam pertempuran dan masih hidup, selanjutnya beristana di Sukasada.
Adapun yang menang dalam pertempuran, mempunyai putra bernama Ki Gusti Bagus Jlantik Banjar, beliau berkedudukan sebagai patih di istana Bangkang, ketiganya sama-sama meninggal karena tanah longsor, pada Isaka 1737 (1815 M), sebab lumpur dari gunung mengalir melaju ke wilayah Sukasada serta Bangkang, banyak rakyat yang meninggal terbenam oleh lumpur itu.
Ada adik beliau Ki Gusti Bagus Jlantik Banjar, bernama Ki Gusti Ketut Jlantik, tidak meninggal oleh banjir lumpur itu, sebab beliau sudah pindah ke daerah Kubutambahan, serta adiknya yang bernama Ki Gusti Made Jlantik, mengungsi desa Pereyan Tabanan, beliau meninggal di sana, adapun yang bungsu bernama Ki Gusti Ketut Panji, beliau masih tetap tinggal di Singaraja.
Adapun anaknya Ki Gusti Wayan Ksatra, yang bernama Ki Gusti Wayan Panji, Ki Gusti Wayan Panebel, serta Ki Gusti Nyoman Panarungan, sama-sama masih di Sukasada, Semuanya meninggal terbenam dalam lumpur pada tahun Isaka 1737 (1815 M).
Adapun Ki Gusti Ayu Den Bukit, yang diambil sebagai istri oleh beliau Dalem Smarapura, berputra Dewa Agung Panji, beliau yang menurunkan Cokorda Agung Mangwi, beserta Dewa Agung Putu di daerah Getakan, serta Cokorda Mayun Giri, di daerah Nyalian.
Adapun sanak saudaranya, beliau Ki Gusti Ayu Den Gunung, yang mengikuti beliau di Klungkung dahulu, yang paling tua menurunkan mereka yang berada di Gunung Rata, adiknya berputra yang menurunkan mereka yang berada di Sampyang Gianyar, sedangkan yang paling kecil berputra yang berada di daerah Lebah Klungkung.
Kembali diceritakan, Ki Gusti Ketut Panji, berputra Ki Gusti Gede Panji, Ki Gusti Made Clagi, serta Ki Gusti Nyoman Pinatih, sama-sama berada di Sukasada. Ki Gusti Bagus Jlantik Banjar, berputra Ki Gusti Bagus Suwi, serta Ki Gusti Made Akeh, sama-sama berada di Bangkang.
Adapun Ki Gusti Made Panji Muna, berputra Ki Gusti Bagus Jlantik Kalyanget. Ki Gusti Ketut Jlantik, berputra Ki Gusti Wayan Ksatra, berada di Kubutambahan, adiknya Ki Gusti Made Jlantik, berada di Panarukan.
Adapun Ki Gusti Made Jlantik, yang meninggal di Pereyan, berputra Ki Gusti Wayan Jlantik, berada di Sasak. Sedangkan Ki Gusti Ketut Panji di Singaraja., sama-sama berada di Singaraja.
Ada saudara beliau pergi ke Patemon, serta ke Bon Tihing, dan ke Depaha. Adapun Ki Gusti Wayan Panji, Ki Gusti Wayan Panebel, dan Ki Gusti Nyoman Panarungan, sama-sama menurunkan keluarga, selanjutnya dari Sukasada pindah ke Singaraja.
Diceritakan Ki Gusti Gede Panji, berputra Ki Gusti Putu Panji, Ki Gusti Made Kari, dan Ki Gusti Ketut Panji, sama-sama berada di Sukasada. Ki Gusti Made Celagi beliau banyak menurunkan putra. Ki Gusti Nyoman Pinatih, mempunyai seorang putri bernama I Gusti Ayu Rai, serta saudara laki-lakinya. Ki Gusti Bagus Suwi, di Bangkang, mempunyai seorang putri Ki Gusti Ayu Made Ayu, beserta saudara laki-laki. Ki Gusti Made Akeh, di Bangkang, berputra I Gusti Nyoman Panji, I Gusti Ketut Jlantik Sangket, beserta saudaranya di Bangkang. Ki Gusti Bagus Jlantik Kalyanget, pindah dari Tukad Mungga, putra beliau Ki Gusti Bagus Jlantik Batupulu, adiknya Ki Gusti Made Batan, sama-sama di Tukad Mungga. Adapun Ki Gusti Wayan Ksatra di Kubutambahan, berputra I Gusti Putu Kari, Ki Gusti Putu Kebon nama lainnya, ada adiknya seorang wanita bernama Ki Gusti Ayu Made Batan.
Adapun Ki Gusti Made Jlantik, di Panarukan, berputra Ki Gusti Ayu Putu Puji, Ki Gusti Ayu Jlantik, Ki Gusti Ayu Rai, dan Ki Gusti Ayu Putu Intaran Rudi. Selanjutnya I Gusti Wayan Jlantik yang berada di Sasak, berputra Ki Gusti Made Jlantik Jwala, serta Ki Gusti Ketut Jlantik Jwali. Adapun Ki Gusti Bagus Ksatra, di Singaraja, berputra Ki Gusti Bagus Rai, serta saudaranya, tidak diceritakan selanjutnya.
Kembali diceritakan. setelah beliau Ki Gusti Ngurah yang wafat di Pangambengan , beliau digantikan, oleh yang bernama Ki Gusti Agung Pahang, pada saat Isaka 1751 (1829 M), beliau memindahkan istana Singaraja, ke sebelah barat jalan, entah berapa lamanya menjadi raja, terdorong oleh karena sudah kehendakNya, akhirnya keluar sifat angkara beliau, diduga tidak ada menandingi kewibawaannya, bertingkah laku tidak senonoh, sehingga melanggar tata susila yang sudah ada, gamya-gamana, serta berselingkuh dengan saudara perempuan beliau, hal itu diketahui oleh para menterinya, serta rakyatnya semua, akan tetapi Semuanya memendam dalam hati, tidak ada yang berani membuka mulut, akan kejahatan tuannya, akan tetapi semua sudah kentara bahwa semua mengetahui namun pura-pura tidak tahu, sehingga beliau Ki Gusti Ngurah Pahang menjadi was-was, mengira bukan mustahil rakyatnya semua akan menentang kekuasaannya, tetapi tetap niatnya berbuat ganas pada rakyatnya, terhadap tindak-tanduknya, belum pantas dihukum mati, dibunuhnya juga selalu memegang pentungan, tidak sedikit menyakiti rakyatnya, karena curiga pada diri atas perilakunya yang tidak senonoh. Kira-kira tiga tahun lamanya beliau menjadi raja, ada para arya bernama Ki Gusti Bagus Ksatra dari Singaraja, saudara beliau Ki Gusti Made Singaraja, anak beliau Ki Gusti Ketut Panji, beliau Ki Gusti Bagus Ksatra, disuruh membunuh oleh Ki Gusti Agung Pahang, sebab memberikan hidangan ikan udang kepada beliau, disangka oleh beliau raja, akan menjadi sebab berhenti menjadi raja Den Bukit, ada pula yang bernama Wayan Rumyani, Pan Apus nama lainnya, ia rakyat yang dipercayai menjadi perbekel, ikut juga dibunuhnya, oleh karena kelihatan sebagai raja gila, disangkanya jelas akan mencelakakan.
Selanjutnya jenazah Ki Gusti Bagus Ksatra, ditambatkan di lapangan, telinganya kiri-kanan diberi bunga kembang sepatu merah, mayatnya menjadi tontonan orang banyak, dan adiknya Ki Gusti Made Singaraja, menghadap raja, memohon belas kasihan, memohon jenazah kakaknya, ternyata tidak diijinkan oleh beliau raja, setelah sore hari, barulah mayatnya diserahkan kepada sanak saudaranya.
Oleh karena demikian keadaannya, luar biasa marahnya Ki Gusti Made Singaraja, beserta sanak keluarganya semua, semua keturunan pemberani Sri Panji Sakti, lalu bersama-sama mengadakan perundingan, setelah memperoleh keputusan, memaksa menerobos masuk istana.
Pada saat hari baik, beliau raja < > Pahang mengadakan keramaian di istana, mengadakan pertunjukan wayang kulit, adapun sebagai Dalangnya bernama Ki Gulyang, dari desa Banjar, itulah kesempatan para arya semuanya, bermaksud ikut mengamuk di istana, sudah siap dengan senjata, hanya menunggu keluarnya beliau sang raja, menonton, sampai tengah malam, juga Ki Gusti Agung Pahang belum keluar, menonton wayang, adapun Ki Dalang Gulyang sedang memainkan perang wayang, akhirnya semua para arya kepayahan menunggu, akhirnya mereka menyebar mengacau, mengamuk orang-orang yang menonton wayang, ada yang menikam ke arah Dalang yang sedang memainkan wayang, layarnyapun robek, adapun sang dalang saat itu sedang memegang wayang Bima, serta wayang Tuwalen, serta membawa Capala, oleh karena kagetnya, lalu segeralah ia melompat mencari perlindungan, membawa wayang Bima dan Tuwalen, beserta capalanya.
Tidak diceritakan banyaknya yang mati dan terluka di tempat orang menonton, kacau balau, mencari perlindungan, sehingga hiruk-pikuk mondar-mandir, di halaman kedua istana, disambut dengan suara kentongan bertalu-talu, luar biasa riuhnya orang-orang, seisi istana, sama-sama keluar dengan membawa senjata, sama-sama menunggu di jalan raya, sebab tidak ada yang berani masuk ke istana, oleh karena sangat gelapnya.
Diceritakan ada yang bernama Ketut Karang, sebagai kepala penjaga istana, bertempat tinggal di Panataran, ia berbicara, mengingatkan Ki Gusti Made Singaraja, beserta pengikutnya, menyuruh untuk kembali pulang, sebab beliau raja sudah pergi mengungsi meninggalkan istana, tidak akan berhasil jika langsung masuk ke dalam istana, mungkin tujuannya akan menemui bahaya, demikian cegahan Ketut Karang, lalu mereka yang menyerang kembali pulang semuanya, menuju rumahnya masing-masing.
Keesokan harinya, Ki Gusti Agung Pahang, dihadapkan dalam persidangan, dihadapkan oleh semua para manca, akan tetapi para arya Den Bukit tidak ikut, melakukan persidangan, tentang pemberontakan para arya Buleleng, durhaka mengamuk dalam istana, setelah kesepakatan raja selesai, sesudah disepakati oleh para arya keturunan Karangasern, bahwa akan membunuh semua para arya Buleleng, laki perempuan, tua muda, supaya tidak ada tersisa, sebab sangat besar dosanya terhadap sang raja, setelah demikian keadaannya, tidak menunggu sehari, seketika mendadak dikerahkan para prajuritnya lengkap dengan senjata, disuruh untuk menghancurkan para arya yang ada di Ler Adri, ternyata lamban tindakan para arya itu kurang cepat mengelak, sehingga hancur beserta dengan anak-anaknya (arare cili), oleh karena angkatan bersenjatanya sangat hebat jitu melaksanakan perintah sang raja, itu sebabnya berpuluh bahkan sampai ratusan mereka yang dapat ditikam dengan keris, serta tombak, segala yang mengakibatkan kematian, bagaikan bergunung mayat dan berlautan darah kenyataannya, demikian diceritakan.
Kenyataannya, sebab kehendakNya tidak dapat dilawan, untuk menciptakan kebesaran keturunan beliau Ki Gusti Ngurah Panji, walaupun beberapa banyaknya prajurit beliau, memporak-porandakan para arya Den Bukit, tetapi didorong oleh kekuatan suci beliau yang sudah mendahuluinya ( wafat), mereka tak mungkin sampai habis dihancurkan, ada juga yang tersisa, yang berhasil menurunkan keturunan sampai sekarang, bagaikan dilindungi oleh dewata persembunyiannya, sehingga terlepas dari kematian, siapakah itu yang masih hidup?, demikian kira-kira pertanyaannya, di antaranya, Ki Gusti Made Kari, Ki Gusti Ketut Panji, sama-sama ada di Sukasada, beliau sama-sama pindah ke wilayah Desa Kapal Mangwi, beliau yang menurunkan keturunan di Sukasada sampai sekarang. Adapun Ki Gusti Nyoman Panji, beserta saudaranya Ki Gusti Ketut Jlantik Sangket, sama-sama pergi menyelinap di hutan-hutan wilayah desa Panji, beliau yang menurunkan para arya di istana Bangkang sampai sekarang.
Adapun Ki Gusti Bagus Ketut Jlantik Batupulu, serta adiknya Ki Gusti Made Batan, sama-sama mengungsi menuju wilayah desa Soka Tabanan, beliau yang menurunkan sanak keluarga para arya Tukad Mungga, sampai sekarang.
Selanjutnya Ki Gusti Putu Kebon, Ki Gusti Putu Kari nama lain beliau, pergi ke desa Pakisan, dan berhasil menurunkan yang di istana Kubutambahan. Adapun Ki Gusti Ketut Jlantik Jwali, menurunkan keturunan di Karang Buleleng Sasak sampai sekarang.
Pendeknya, apa sebab sama-sama masih hidup, karena ditolong oleh rakyatnya masing-masing, yang masih bakti menghamba, berusaha menyelamatkan diri.
Kembali diceritakan, tidak menyimpang akan titah Nya, perbuatan semasa hidup didorong oleh perbuatannya dahulu, sebabnya Ki Gusti Ngurah Pahang, semakin bertambah angkara murkanya, bagaikan malapetaka dari-Nya, segera semakin diketahui oleh rakyatnya semua, perbuatannya gamya-gamana dengan adik, menyebabkan panas pada saat musim hujan, hasil panen tidak berhasil, kebutuhan sehari-hari jarang, negara menjadi terpecah, sehingga orang-orang menjadi ribut, bertengkar berperang dengan sanak keluarga, sama-sama tidak tertahankan oleh para manca serta semua rakyat , selanjutnya K-i Gusti Agung Pahang dikepung oleh rakyat bersenjata, akhirnya lari ke wilayah Karangasern, setibanya beliau di sana, akhirnya beliau dibunuh oleh rakyat Karangasern.
Digantikan oleh beliau yang bernama Ki Gusti Ngurah Made, yang menggantikan kedudukan raja Buleleng, beliau juga keturunan Karangasern, dibantu oleh beliau yang bernama Ki Gusti Ketut Jlantik Gingsir, kedudukannya sebagai patih, diberi mandat memerintah negara Buleleng, keberanian beliau Ki Gusti Patih terkenal ke mana-mana sampai ke pelosok Pulau Bali, sebab beliau mengalahkan desa-desa yang ada di wilayah pegunungan Bangli, seperti Payangan, sangat luar biasa pujian rakyat, akan keberanian beliau menggempur musuhnya yang sakti.
Entah berapa tahun lamanya, tiba-tiba ada perbedaan pendapat Ki Gusti Patih Ketut Jlantik, berselisih dengan pemerintahan Belanda, menyebabkan terjadinya permusuhan, perangpun terjadi sangat hebat, antara Belanda dengan rakyat Bali, lamanya perang hingga tiga tahun, akhirnya rakyat Den Bukit mengalami kekalahan, oleh pemerintahan Belanda, pada Isaka 1768 ( 1846 M), adapun raja Ngurah Made, serta Ki Gusti Ketut Jlantik, disertai prajuritnya, lari pergi menuju wilayah Karangasern.
Setelah demikian, tidak ada lagi keturunan raja Karangasern yang memerintah di Buleleng, dan pemerintahan Belanda yang berhasil menang di Buleleng, untuk menjalankan pemerintahan, kembali mengangkat raja, memilih raja keturunan Den Bukit seperti dulu kala, setelah pembicaraan selesai, disetujui oleh para manca dan punggawa semua, diusahakan mencari yang benar-benar keturunan para arya, keturunan Sri Panji Sakti dahulu, yang memerintah di Den Gunung, sebab dipilih oleh semua orang yang menginginkan, sehingga dinobatkan bergelar Ki Gusti Made Rai di Sukasada, menjadi penguasa Den Bukit, beliau adalah putra dari Ki Gusti Made Kari, yang pergi ke daerah Kapal Mangwi, pada saat diserang oleh Ki Gusti Agung Pahang dahulu.
Ada saudara tertua beliau Ki Gusti Made Rai seorang wanita, bernama Ki Gusti Ayu Pakisan, adiknya bernama Ki Gusti Ayu Rai, yang laki bernama Ki Gusti Made Panji, serta Ki Gusti Nyoman Panarungan.
Adapun adik beliau Ki Gusti Made Kari, yang bernama Ki Gusti Ketut Panji, beliau berputra Ki Gusti Ayu Griya, Ki Gusti Agung, serta Ki Gusti Ayu Bulan, sama-sama berada di Sukasada.
Adapun Ki Gusti Nyoman Panji, yang pergi menuju desa Alas Panji, berputra Ki Gusti Ayu Sekar, Ki Gusti Made Banjar, Ki Gusti Nyoman Banjar, serta Ki Gusti Ketut Tangkeban.
Adapun adik beliau Ki Gusti Nyoman Panji, yang bernama Ki Gusti Ketut Jlantik Sangket berputra Ki Gusti Wayan Jlantik, Ki Gusti Nyoman Oka, Ki Gusti Ketut Rai serta yang lain ibu dengan Ki Gusti Ayu Kompyang Panji, Ki Gusti Ayu Nyoman Rai, Ki Gusti Ketut Ksatra, Ki Gusti Ketut Banjar, serta Ki Gusti Ayu Kaler, sama-sama kembali ke Bangkang.
Adapun Ki Gusti Bagus Jlantik Batupulu, yang pergi ke desa pegunungan di daerah Soka Tabanan, berputra Ki Gusti Putu Panji, Ki Gusti Ayu Mas, Ki Gusti Ketut Ksatra, serta Ki Gusti Ketut Jlantik, semua kembali ke wilayah Desa Tukad Mungga.
Juga adik beliau yang bernama Ki Gusti Made Batan, berputra Ki Gusti Putu Batan, Ki Gusti Ayu Made Taman, Ki Gusti Nyoman Jlantik, Ki Gusti Ketut Kaler, Ki Gusti Ayu Rai, Ki Gusti Ayu Panji, Ki Gusti Bagus Jlantik, Ki Gusti Made Karang, Ki Gusti Ketut Banjar, serta Ki Gusti Ayu Nyoman Soka nama beliau, sebab lahir di desa Soka, pada saat mengungsi dahulu, itu Semuanya lalu bertempat tinggal di Tukad Mungga. Selanjutnya membangun tempat pemujaan di rumahnya di Tukad Mungga, meniru yang ada di istana Bangkang.
Adapun Ki Gusti Putu Kari, Putu Kebon nama lain beliau, yang pergi ke Desa Pakisan, beliau berputra Ki Gusti Bagus Panji Cuwag, Ki Gusti Ketut Kaler, Ki Gusti Ketut Jlantik, serta Ki Gusti Ayu Putu, Semuanya kembali ke Kubutambahan.
Juga beliau Ki Gusti Ketut Jlantik Jwali, berputra Ki Gusti Bagus Jlantik, Ki Gusti Made Rai, serta Ki Gusti Nyoman Jlantik, sama-sama bertempat tinggal di Sasak.
Yang lainnya, ketika diserang oleh beliau Ki Gusti Agung Pahang, dahulu, oleh karena para Arya Buleleng sama-sama mencari keselamatannya masing-masing, ada para arya yang berbudi ingkar lupa akan leluhurnya, tidak mengetahui asal-usulnya, menuruti jalan hidupnya, sehingga tinggal di rumah orang yang beragama Islam di pesisir Singaraja, yang sudah jelas tidak setia pada agamanya, menjadi beragama Islam, ada keturunannya sampai sekarang, setelah bercampur dengan orang-orang yang beragama Islam.
Entah beberapa lamanya, lebih kurang tiga tahun lamanya, Ki Gusti Made Rai menjadi raja Buleleng, akhirnya beliau turun dari singgasana, oleh karena tidak menghiraukan rakyat, didorong oleh nafsu, tenggelam dalam sabungan ayam, tidak ingat akan kewajibannya sebagai raja, beberapa bulan meninggalkan istana, tinggal diam di desa Panji, diiring oleh para penjudi, sangat keras mengikuti keinginan berjudi.
Setelah mendapat kata sepakat oleh pemerintahan Belanda, dibantu oleh para menteri, punggawa semuanya, sehingga dipilih beliau Ki Gusti Ketut Jlantik di Kubutambahan, putra beliau I Gusti Putu Kari, dinobatkan menjadi raja di Buleleng, sebab beliau memang benar-benar keturunan Sri Agung Panji Sakti, keturunan keempat dari Ki Gusti Agung Rai.
Kemudian dari hasil keputusan pemerintahan Belanda, pindah dari Kubutambahan beristana di Singaraja, bergelar Ki Gusti Nglurah Ketut Jlantik, dibantu oleh ayah beliau Ki Gusti Putu Kari, berkedudukan sebagai punggawa di Kubutambahan.
Adapun ipar baginda raja, bernama Ki Gusti Putu Batan, raja muda dengan jabatan sedahan agung kedudukan beliau, dan Ki Gusti Bagus Jlantik, patih kedudukan beliau, semula berkedudukan di Tukad Mungga, selanjutnya pindah ke Singaraja, Puri Kanginan, lain dari itu, masih berada di Tukad Mungga, sama-sama diberi kedudukan oleh baginda raja, demikian keluarga raja keturunan istana Bangkang, serta yang berada di Sukasada, menyebabkan tenang dan sempurna baginda raja, dibantu oleh sanak keluarga dan tanda mantri serta punggawa.
Entah berapa lamanya, bagaikan kehendak-Nya, sebab sudah tiga giliran waktunya pembagian takdir Yang Maha Kuasa, disertai dengan perputaran jaman, menyebabkan keadaan menjadi kacau, menyebabkan banyak yang saling fitnah, diakibatkan oleh keinginan Belanda untuk menguasai negara, dengan cara-caranya sendiri, sehingga ada saja alasannya untuk menghukum, menyalahkan Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik, sehingga beliau diberhentikan menjadi raja, selanjutnya beliau dijadikan orang buangan di Pulau seberang yaitu wilayah Padang Pulau Sumatra.
Setelah keadaan demikian, selanjutnya Belanda sebagai penguasa daerah Buleleng, tidak ada rajanya lagi, hanya Ki Gusti Bagus Jlantik kedudukannya sebagai patih, sebagai pemimpin orang-Bali di Buleleng.
Kembali diceritakan, tentang keturunan beliau Ki Gusti Made Rai di Sukasada, beliau banyak menurunkan keturunan, yang tertua Ki Gusti Bagus Rai, adiknya Ki Gusti Made Ksatra, Ki Gusti Nyoman Karang, Ki Gusti Ketut Tangi, Ki Gusti Ketut Jlantik, Ki Gusti Bagus Dalang, Ki Gusti Ayu Ketut Rai, Ki Gusti Putu Gunung, Ki Gusti Nyoman Jlantik Ceples, Ki Gusti Ayu Jlantik, Ki Gusti Ketut Perasi, Ki Gusti Nyoman Jlantik, Ki Gusti Ketut Rai, Ki Gusti Ayu Putu, beliau dijadikan istri oleh Ki Gusti Putu Griya, di Singaraja.
Adapun Ki Gusti Made Panji, berputra Ki Gusti Ayu Turun. Adapun I Gusti Nyoman Panarungan, berputra Ki Gusti Bagus Bebed, sama-sama berkedudukan di Sukasada.
Adapun Ki Gusti Agung, pindah ke Depaha, berputra Ki Gusti Ayu Sekar, Ki Gusti Ayu Made Panji, Ki Gusti Ayu Made Rai Kebring, yang dijadikan istri oleh Ki Gusti Made Singaraja, di Singaraja, Ki Gusti Ketut Jlantik, Ki Gusti Putu Canang, Ki Gusti Made Togog, Ki Gusti Ayu Nyoman Tilem, Ki Gusti Ketut Panji, serta Ki Gusti Ayu Jlantik.
Adapun yang berada di istana Bangkang, Ki Gusti Made Banjar, berputra Ki Gusti Ayu Dangin, istri beliau Ki Gusti Nyoman Gunung, di Tukad Mungga, Ki Gusti Ayu Mas, Ki Gusti Nyoman Jlantik, serta KI Gusti Made Panji.
Adapun Ki Gusti Nyoman Banjar, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Panji, Ki Gusti Made Selat, serta Ki Gusti Ketut Putu. Adapun Ki Gusti Ketut Tangkeban, beliau tidak mempunyai keturunan.
Adapun Ki Gusti Wayan Jlantik, berputra Ki Gusti Putu Cede, Ki Gusti Made Jlantik, Ki Gusti Ayu Nyoman Ayu, istri beliau Ki Gusti Nyoman Jlantik, Ki Gusti Ayu Kajeng, Ki Gusti Ayu Rai, istri beliau Ki Gusti Putu Intaran, di Bangkang, Ki Gusti Ayu Ketut Panji,, istri beliau Ki Gusti Ketut Putra di Tukad Mungga, serta yang bungsu Ki Gusti Bagus Jlantik.
Adapun Ki Gusti Nyoman Oka, berputra Ki Gusti Putu Intaran, Ki Gusti Made Celagi, Ki Gusti Nyoman Jlantik Jebel, Ki Gusti Putu Gianyar, serta Ki Gusti Made Kaler. Kemudian Ki Gusti Ketut Rai, berputra Ki Gusti Ayu Jlantik, istri beliau Ki Gusti Bagus Rai dari Tukad Kemudian Ki Gusti Ketut Panji, berputra Ki Gusti Putu Panji, Ki Gusti Ayu Kompyang Sekar, istri beliau Ki Gusti Made Jlantik, Ki Gusti Ayu Made Rai, istri beliau Ki Gusti Nyoman Jlantik Jebel.
Adapun Ki Gusti Ketut Kaler, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Jlantik, istri beliau Ki Gusti Bagus Jlantik dari Bangkang, serta adiknya Ki Gusti Made Raka. Adapun Ki Gusti Ketut Ksatra, berputra Ki Gusti Bagus Jlantik Dawuh. Kemudian Ki Gusti Ketut Banjar, berputra Ki Gusti Ayu Dalem, istri beliau Ki Gusti Ketut Putu di Bangkang, Ki Gusti Ayu Made Rai, Ki Gusti Panji Cuweh, Ki Gusti Ayu Made Ayu, Ki Gusti Ketut Ayu, Ki Gusti Ayu Selat, Ki Gusti Made Jiwa, Ki Gusti Nyoman Raka, serta Ki Gusti Ayu Ketut Griya, beliau Semuanya ada di Bangkang, satu tempat suci untuk pemujaan bagi beliau semua. Adapun yang ada di Tukad Mungga, yang bernama Ki Gusti Putu Panji, berputra Ki Gusti Bagus Rai, Ki Gusti Ayu Jlantik, istri beliau Ki Gusti Putu Intaran di Tukad Mungga, Ki Gusti Made Oka, Ki Gusti Ayu Nyoman Rempeg, istri beliau Ki Gusti Putu Gianyar di Bangkang, serta Ki Gusti Ketut Cede. Ki Gusti Ketut Ksatra, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Sekar, istri beliau Ki Gusti Ketut Cede, di Tukad Mungga, adiknya Ki Gusti Made Jlantik. Adapun Ki Gusti Ketut Jlantik, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Rai, istri beliau Ki Gusti Ketut Cede di Tukad Mungga.
Selanjutnya Ki Gusti Putu Batan, berputra Ki Gusti Ayu Putu Sekar, istri beliau Ki Gusti Ketut Ksatra di Bangkang, Ki Gusti Ayu Made Jlantik, istri beliau Ki Gusti Made Celagi di Bangkang, Ki Gusti Ayu Kompyang Ayu, istri beliau Ki Gusti Putu Griya di Singaraja, Ki Gusti Made Singaraja, Ki Gusti Ayu Nyoman Ayu, istri beliau Ki Gusti Nyoman Raka, Ki Gusti Ketut Bagus, serta yang bungsu Ki Gusti Ketut Putu.
Adapun beliau Ki Gusti Nyoman Jlantik, berputra Ki Gusti Putu Center, Ki Gusti Ayu Made Rai, istri beliau Ki Gusti Putu Cede di Bangkang, Ki Gusti Putu Selat, Ki Gusti Ayu Made Sekar, Ki Gusti Nyoman Jlantik Gunung, serta Ki Gusti Ketut Putra. Adapun Ki Gusti Ketut Kaler, berputra Ki Gusti Ayu Kompyang Kaler, serta Ki Gusti Ayu Made Griya, sama-sama diambil sebagai istri oleh Ki Gusti Ketut Jlantik.
Selanjutnya Ki Gusti Bagus Jlantik Patih, berputra Ki Gusti Putu Intaran. Serta Ki Gusti Made Karang, beliau tidak mempunyai keturunan. Selanjutnya Ki Gusti Ketut Banjar, putra beliau tertua bernama Ki Gusti Putu Griya, adiknya Ki Gusti Ayu Made Panji, istri beliau Ki Gusti Putu Selat di Tukad Mungga, Ki Gusti Nyoman Raka, Ki Gusti Ketut Jlantik, serta Ki Gusti Ayu Rai, istri beliau Ki Gusti Putu Intaran di Tukad Mungga. Demikian keturunan beliau yang ada di Tukad Mungga, Semuanya bersatu dalam satu tempat pemujaan masing-masing di desa Tukad Mungga.
Adapun Ki Gusti Ngurah Ketut Jlantik, bekas raja Buleleng yang terakhir, berasal dari keturunan di Kubutambahan, beliau mempunyai seorang putri, bernama Ki Gusti Ayu Kompyang, istri beliau Ki Gusti Made Singaraja, di Singaraja

sumber babad bali yayasan bali galang

Selengkapnya ....
Prati Sentana Sira Arya Kubontubuh Kuthawaringin _ desa titab _ busungbiu _ buleleng